Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menyayangkan tindakan brutal kepolisian dalam membubarkan aksi demonstrasi penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Aparat kepolisian dinilai mengutamakan penggunaan kekuatan berlebihan dalam membubarkan massa.
"Peristiwa kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan kepolisian terhadap aksi protes menolak UU Cipta Kerja adalah repetisi atas pola-pola brutalitas kepolisian pada peristiwa tersebut. Ini adalah sebuah kemunduran," kata Anggota Divisi Hukum KontraS, Andi Muhammad Rezaldi dalam keterangan tertulisnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/10).
Andi mengatakan sejumlah aturan, baik undang-undang maupun peraturan internal Polri, tercantum dengan tegas bahwa anggota Korps Bhayangkara harus menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Saat menindak pelanggar hukum, polisi juga harus menghormati prinsip praduga tak bersalah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, kepolisian tidak bisa menggunakan alasan provokasi massa sebagai justifikasi melakukan kekerasan. Ia mengingatkan bahwa tugas kepolisian memastikan pelaku tindak pidana diproses secara hukum, sementara masyarakat yang terlibat dalam aksi dilindungi hak-haknya.
"Lebih dari itu, kepolisian harus menemukan pelaku utama dari provokasi tersebut agar hal serupa tidak terulang kembali di masa yang akan datang," ujarnya.
Andi mengatakan pihaknya mencatat sejumlah pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani gelombang aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di sejumlah daerah. Di antaranya yakni penggunaan kekuatan berlebihan berujung kekerasan terhadap peserta aksi.
Selain itu, kata dia, terdapat bukti kekerasan yang dilakukan aparat, bahkan sampai melukai massa aksi. Pembubaran massa aksi juga tak sesuai dengan prinsip dan tahap-tahap penggunaan kekuatan.
Andi menjelaskan berdasarkan Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 1 Tahun 2009, penggunaan kekuatan anggota Polri harus mengedepankan prinsip proporsionalitas, yang berarti pengerahan kekuatan harus dilaksanakan secara seimbang antara ancaman dan tingkat kekuatan yang ada.
Di sisi lain, kata Andi, koalisi juga mengkritisi penangkapan sewenang-wenang aparat kepolisian, baik sebelum ataupun setelah aksi demonstrasi terjadi dengan dalih pengamanan. Menurutnya, langkah aparat kepolisian tersebut justru tak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Alasan pengamanan ini, merupakan tipu daya polisi untuk tidak menjalankan kewajibannya memenuhi syarat administratif dalam melakukan penangkapan. Perbuatan polisi ini merupakan pelanggaran serius terhadap kemerdekaan seseorang," katanya.
Oleh karena itu, koalisi mendesak agar Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo dan Kepala Divisi Propam Mabes Polri melakukan pemeriksaan, baik secara pidana maupun etik kepada anggota yang diduga melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia dalam menangani massa aksi.
Koalisi juga mendesak agar Kapolri Jendral Idham Azis memerintahkan kepada seluruh Kapolda untuk menghentikan tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap massa aksi. Kemudian juga melakukan evaluasi terhadap penggunaan kekuatan yang sudah dijalankan.
Selain itu, koalisi juga mendesak Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Ketua Ombudsman Republik Indonesia Amzulian Rifai membuat tim ad hoc untuk melakukan investigasi secara mandiri terkait tindak kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan dalam penanganan aksi demonstrasi.
Terakhir koalisi meminta Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri untuk segera melakukan reformasi kepolisian secara menyeluruh yang menyentuh berbagai aspek baik kultural, struktural dan instrumental dengan mengedepankan prinsip-prinsip demokratis.
Koalisi Reformasi Sektor Keamanan terdiri dari sejumlah LSM. di antaranya KontraS, Imparsial, Amnesty Internasional Indonesia, Public Virtue Institute, LBH Jakarta, Setara Institute, HRWG, Elsam, PBHI, LBH Masyarakat, Pil-Net, ICW dan LBH Pers.
Sebelumnya terjadi gelombang aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja di sejumlah daerah sejak 6 sampai 8 Oktober lalu. Aksi yang dilakukan elemen buruh, mahasiswa, dan pelajar itu berujung ricuh. Terjadi penangkapan hingga kekerasan terhadap massa aksi maupun wartawan.
Kemarin juga terjadi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian saat membubarkan aksi 1310 tolak Omnibus Law yang dimotori Front Pembela Islam (FPI), PA 212, dan GNPF di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat.
(dmi/fra)