Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menemukan fakta bahwa Kejaksaan Agung sudah dua tahun menggunakan cairan pembersih mudah terbakar yang tidak memiliki izin edar.
Cairan pembersih yang dimaksud itu adalah minyak lobi bermerk TOP Cleaner yang diproduksi oleh PT APM. Cairan tersebut memicu api yang lebih besar saat api menghanguskan sejumlah lantai gedung Kejagung.
"Proses pengadaan yang dilakukan dan terjadi sudah kurang lebih dua tahun," kata Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Ferdy Sambo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (23/10)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ferdy menuturkan bahwa penggunaan bahan mudah terbakar itu kemudian membuat Direktur Utama PT APM dan Pejabat Pembuat Komitemen (PPK) di Kejagung menjadi tersangka.
Dari hasil penyidikan, polisi menemukan bahwa pejabat eselon IV yang tidak mau disebutkan secara rinci itu telah mengetahui bahwa bahan-bahan yang digunakan berbahaya. Hanya saja, dia tetap menyetujui penggunaan TOP Cleaner tersebut hingga akhirnya terjadi insiden kebakaran.
"Ditetapkan sebagai tersangka karena kealpaannya masih menggunakan bahan-bahan yang seharusnya tidak boleh digunakan," kata Ferdy.
Polri pun belum dapat mengetahui pasti alasan pejabat tersebut masih menyetujui penggunaan bahan ilegal tersebut untuk membersihkan ruangan.
"Harusnya (PPK) tahu. Maka harusnya jangan digunakan, tapi dia tetap gunakan," pungkas dia.
Sebagai informasi, cairan-cairan pembersih itu diduga kuat oleh penyidik dan sejumlah ahli membuat api menjalar dengan cepat saat proses kebakaran terjadi.
Setelah ditelusuri, ternyata cairan pembersih itu tidak memiliki izin edar lantaran mengandung zat-zat yang mudah terbakar.
Penyidik juga menjerat seorang PPK di Kejagung berinisial NH sebagai tersangka. Hal itu lantaran karena tersangka menyetujui pembelian pembersih lantai merk top cleaner dan pada akhirnya menyebabkan kebakaran.
Para tersangka dijerat pasal 188 jo 55 dan 56 KUHP dengan ancaman pidana penjara selama lima tahun.