Federasi Serikat Guru Indonesia menilai Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di tahun ajaran baru akan lebih berat bagi mental siswa dibandingkan fase pertama PJJ di tahun ajaran 2019/2020.
"Pada PJJ fase kedua, anak-anak lebih sulit mengatasi permasalahan psikologis, sehingga berpengaruh pada kesehatan mental seorang anak/remaja," kata Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (1/11).
Ia menjelaskan beban berat ini karena siswa memulai kelas baru dengan guru, pelajaran, dan teman sekelas yang berbeda di tahun ajaran baru.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara sejak kenaikan kelas, siswa belum pernah melakukan pembelajaran tatap muka.
Hal ini, menurut dia, menyebabkan siswa sulit memiliki teman dekat seperti situasi normal sehingga siswa tidak memiliki rekan yang bisa membantu melepas tekanan psikologis yang dirasakan.
"Akibatnya, kesulitan pembelajaran ditanggung anak sendiri jika anak tersebut tidak berani bertanya kepada gurunya," tutur Retno.
Situasi ini kemudian kian diperparah dengan akses fasilitas pendukung belajar yang belum merata. Ia mengatakan kondisi ini akhirnya memaksa siswa mengatur sistem belajar sendiri.
Namun tak semua siswa memiliki kemampuan tersebut. Beberapa, katanya, ada yang tidak bisa mengatur waktu belajar secara mandiri, kesulitan memahami pelajaran, atau bahkan kebingungan dengan instruksi guru.
Secara psikososial, Retno menjelaskan siswa pun merasa jenuh karena tak bisa banyak beraktivitas di luar rumah.
Selain itu, kerap timbul perasaan khawatir akan tertinggal pelajaran, kerinduan dengan teman, masalah keluarga, sampai potensi terkena penyakit di tengah pandemi.
Menurutnya, pemerintah harus turun tangan menanggulangi dampak psikologis pandemi terhadap siswa dengan mendorong pemberdayaan guru bimbingan konseling terkait kesehatan mental siswa.
"Kementerian Kesehatan dan dinas-dinas kesehatan di daerah harus bersinergi dengan dinas-dinas pendidikan kantor Kementerian agama di Kabupaten/kota maupun provinsi untuk ikut bantu membina kesehatan mental peserta didik," ungkap Retno.
Dampak psikologis ini terbukti dengan keberadaan tiga siswa yang diduga bunuh diri akibat pelaksanaan PJJ. Ketiga siswa ini berasal dari Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Tarakan, Kalimantan Utara; dan siswa yang dianiaya orang tua di Lebak, Banten.
"Meskipun motif bunuh diri seorang tidak pernah tunggal, namun pada kasus-kasus ini mengindikasi kuat bahwa beban PJJ menjadi salah satu penyebab peserta didik depresi sampai memutuskan bunuh diri," tambah Sekretaris Jenderal FSGI Heru Purnomo.
Sedangkan pelaksanaan PJJ di tahun ajaran baru, menurutnya, tak mengalami kemajuan dari fase pertama dalam kurun waktu Maret-Juli 2020.
Ia menyebut implementasi kebijakan yang dikerahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak maksimal di lapangan.
FSGI mencatat ada 10 kendala utama yang ditemukan dalam PJJ tahun ajaran baru, yakni aturan dari Kemendikbud tidak ditaati dinas pendidikan dan sekolah, sekolah masih menggunakan kurikulum normal, tugas menumpuk, dan kompetensi orang tua yang masih rendah dalam mengajar anak.
Kemudian model PJJ yang terlalu sering dimodifikasi, penyamarataan metode pelaksanaan PJJ, siswa didapati stres dan merasa bosan dengan pembelajaran, pengawasan yang tidak maksimal dari dinas pendidikan, kepemilikan gawai yang masih mini, dan sekolah belum memiliki pedoman PJJ.
"FSGI mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melakukan evaluasi menyeluruh dari pelaksanaan PJJ fase kedua yang sudah berlangsung hampir satu semester ini. Hasil evaluasi dipergunakan untuk perbaikan PJJ, baik dari sisi pemerintah, sekolah, madrasah maupun orang tua," lanjut Heru.
(fey/psp)