Epidemiolog Universitas Airlangga Surabaya, Windhu Purnomo mengatakan kemunculan gelombang kedua Covid-19 mestinya bisa dicegah, karena pemerintah sudah mengetahui sebab terjadinya lonjakan kasus di Indonesia.
Menurut Windhu, pemerintah seharusnya tidak hanya menyampaikan imbauan kewaspadaan, tapi juga membuat kebijakan yang bisa mencegah terjadinya lonjakan kasus.
Beberapa di antaranya, mencegah libur panjang dengan menunda cuti bersama, menunda pilkada dan aktivitas politik lainnya yang tidak sejalan dengan upaya pencegahan Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau pemerintah seharusnya sudah bisa antisipasi, misalnya tidak boleh ada kampanye luring, tidak ada pencoblosan, membuat kebijakan yang tidak menimbukan kerumunan. Bukan hanya imbauan 'hati hati ada gelombang baru' tidak begitu, nah gelombag baru itu bisa dicegah oleh pemerintah, karena kita tahu sebabnya," ujar Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (3/11).
Ia juga mengatakan kemungkinan pelandaian kasus beberapa hari belakangan karena minimnya testing saat momen libur panjang dan cuti bersama. Karenanya, Windhu belum bisa meyakini gelombang pertama Covid-19 telah berlalu.
"Kalau konteksnya Covid-19, itu yang harus dilihat adalah jumlah testing, bisa saja [kasus] kecil karena testingnya kecil, [kasus] besar karena testing besar, karena testing itu adalah salah satu prasyarat utama sebelum kita membaca data. Jadi kalau testing kecil, apapun data yang kita punyai bisa underestimate," Kata Windhu.
Anjuran testing Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 1.000/1juta penduduk dalam sepekan, dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 267 juta jiwa, maka idealnya testing Indonesia sebanyak 267 ribu per pekan, sehingga rata-rata testing harian minimal 38 ribu sehari.
![]() |
Berdasarkan data Satgas Covid-19, dalam sepekan terakhir kasus terlihat melandai dari 4.000-an kasus sehari menjadi 2.000-an kasus seharinya.
Rinciannya, pada 28 Oktober penambahan kasus positif berada di angka 4.029, kemudian turun 3.565 pada 29 Oktober, kembali turun pada 30 Oktober 2.897, sempat naik esoknya, 31 Oktober 3.143, kemudian terus menurun hingga ditemukan 2.696 kasus pada 1 November, dan 2.618 pada 2 November.
Namun penurunan kasus juga berjalan seiringan dengan pengetesan orang harian. Berdasarkan sumber yang sama, pada 28 Oktober, jumlah orang yang dites sebanyak 27.344, 29 Oktober 25.393 orang, 30 Oktober 23.278 orang, 31 Oktober 27.459 orang, 1 November 17.971, dan 2 November 20.146.
Epidemiolog Universitas Griffith, Dicky Budiman juga mengatakan Indonesia belum menyelesaikan gelombang pertama Covid-19. Hal ini dikuatkan dengan positivity rate Indonesia yang masih tinggi. Positivity rate Indonesia sebesar 14 persen, masih jauh di atas imbauan WHO sebesar 5 persen.
"Permasalahan kita delapan bulan ini adalah rendahnya cakupan testing kita, yang ditandai dengan tes positivity rate kita di atas 10 persen, masih 14 persen," kata Dicky kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, hal inilah yang menyebabkan puncak pertama Covid-19 di Indonesia belum selesai. Karena masih ada banyak kasus konfirmasi positif yang tidak ditemukan disebabkan testing-tracing yang rendah.
"Jumlah orang yang membawa virus banyak, tapi tidak terdeteksi karena testing kita masih minim, masih ada silent killer, jadi Indonesia ini masih belum menyelesaikan gelombang pertamanya," tutur Dicky.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta agar semua pihak tak bersikap teledor yang mengakibatkan lonjakan kedua gelombang Covid-19 juga terjadi di Indonesia, seperti yang saat ini terjadi di beberapa negara Eropa.
"Berkaitan dengan Covid-19, saya ingin menekankan sekali lagi hati-hati karena di Eropa sudah muncul gelombang kedua yang naiknya sangat drastis sekali," kata Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden, Senin (2/10).
(mln/pmg)