Kerumunan massa pendukung Rizieq Shihab selama sepekan terakhir menjadi sorotan. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dinilai lepas tangan. Pelanggaran protokol kesehatan dalam mencegah penyebaran Covid-19 seolah dibiarkan.
Pakar kebijakan publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sama-sama takut bertindak tegas dalam mencegah kerumunan massa Rizieq.
Dia berpendapat Pemprov DKI tebang pilih dalam menerapkan kebijakannya. Selama ini banyak kegiatan mengumpulkan massa secara tegas dibubarkan oleh pihak Pemprov.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun penindakan itu seolah tak berlaku terhadap Rizieq. Bahkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bertemu Rizieq di saat pentolan FPI itu seharusnya menjalani karantina 14 hari sepulang dari Arab Saudi pada Selasa (10/11).
"Harusnya sebuah kebijakan kan tidak diskriminatif. Semua asasnya keadilan. Tapi ini yang terjadi malah memberi privilege, keistimewaan bagi kelompok itu," ujarnya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (16/11).
![]() |
Di sisi lain, merujuk pada aturan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, Trubus menekankan pemerintah pusat tidak bisa sepenuhnya lepas tangan dengan penegakan protokol kesehatan.
Pasal 5 undang-undang ini mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah Pusat menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan, dan dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
Trubus mengatakan kasus kerumunan Rizieq bukan kali pertama pemerintah pusat tidak tegas terhadap pelanggar protokol kesehatan. Pemerintah dinilai "lembek" pada kasus kerumunan lainnya sejak pandemi melanda Indonesia.
Dia menyebut di antaranya demo menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila oleh massa FPI di depan Gedung DPR RI. Ada pula Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Tugu Proklamasi, serta rentetan demonstrasi menolak UU Cipta Kerja.
"Apakah ada penindakan? Enggak ada. Nah jadi ini artinya apa? Artinya memang pemerintah pusat sendiri enggak tegas, enggak mau menegakkan ini," ujarnya.
Ketiadaan tindakan tegas dari pemerintah, baik pusat dan daerah, bisa memancing kelompok lain melakukan kegiatan serupa, yaitu membuat kerumunan di tengah pandemi.
"Apalagi sanksi dendanya murah. Uang 50 juta di DKI bagi orang kaya, kelompok tertentu itu uang kecil," tambahnya.
![]() |
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD sebelumnya menyatakan penindakan kerumunan merupakan tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta. Menurutnya, sesuai hierarki perundang-undangan, Pemprov adalah pihak yang berwenang memberi sanksi dan teguran terhadap Rizieq.
"Pemerintah menyesalkan terjadi pelanggaran protokol kesehatan, di mana pemerintah sebenarnya telah memperingatkan Gubernur DKI untuk meminta penyelenggara mematuhi protokol kesehatan," kata Mahfud di Jakarta, Senin (16/11).
Pengamat Hukum Tata Negara dari Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Beni Kurnia Ilahi mendukung pernyataan Mahfud. Menurutnya, Pemprov DKI Jakarta memang memiliki kewenangan penuh dalam menegakkan aturan protokol kesehatan.
Merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang PSBB, disebutkan dalam Pasal 5 bahwa Pemerintah daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam UU Kekarantinaan Kesehatan.
Beni mengatakan ketika terjadi kerumunan, maka Pemda bertanggungjawab menegakkan hukum berupa penindakan, pemberian sanksi dan rehabilitasi bagi pelanggar protokol kesehatan melalui instrumen pemerintah yang ada di daerah tersebut.
"Sedari awal itu Pemprov harusnya kan bisa memprediksi. Harus betul-betul dikawal dengan melarang kerumunan baik pada saat penjemputan hingga dalam setiap rangkaian kegiatan Rizieq tersebut," ujarnya.
Namun Dosen Senior Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Indra Perwira berpandangan lain. Meski Pemprov DKI memiliki kewenangan dalam penanganan pandemi di wilayahnya, kata Indra, kewenangan itu sifatnya terbatas.
![]() |
Kewenangan yang lebih kuat, kata Indra, justru dipegang kepolisian yang berada di bawah komando Pemerintah Pusat.
"Pemprov tidak punya kewenangan mencegah atau menangkal karena itu kewenangan kepolisian yang notabene adalah pemerintah pusat. Jadi enggak bisa pemerintah pusat lepas tangan atau dalam kasus ini saya sebut cuci tangan," kata dia.
Terkait izin kepolisian tersebut, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Pol Heru Novianto menyebut tak ada pemberian izin atau larangan yang diberikan pihaknya. Larangan atau izin merupakan kewenangan Polda Metro Jaya.
"Tidak ada. Izin keramaian yang buat dari Polda. Tapi Polda juga sepertinya tidak membuat ijin karena mereka juga tidak menyurat ke polres/polda," kata dia saat dikonfirmasi.
Pada sepekan terakhir, kerumunan massa terjadi sejak Rizieq Shihab tiba dari Arab Saudi pada Selasa (10/11). Beberapa hari kemudian, sejumlah acara yang melibatkan Rizieq mengundang kerumunan massa baik di Petamburan Jakarta Pusat, Tebet Jakarta Selatan, dan Puncak Bogor.
Usai kerumunan di tengah pandemi Covid-19 itu, Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat dicopot karena dinilai tak menegakkan aturan protokol kesehatan.
Polisi juga memanggil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terkait kerumunan massa di acara pernikahan putri Rizieq di Petamburan yang diklaim dihadiri puluhan ribu orang.
Sementara Rizieq sendiri telah dikenakan sanksi denda atas pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 dalam acara tersebut. FPI mengklaim telah membayar denda administratif itu sebesar Rp50 juta.
(fey/tst/pmg)