Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan sebanyak 665 calon kepala daerah (Cakada) di Pilkada Serentak 2020 atau 45 persen berasal dari kalangan pengusaha/ swasta lainnya. Tren dominasi Cakada dari pengusaha berlanjut mengungguli calon dari unsur birokrat (555) dan anggota legislatif (256).
Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, mengaku lembaganya mengkhawatirkan maraknya pengusaha yang menjadi calon kepala daerah karena besarnya risiko konflik kepentingan yang terjadi jika mereka terpilih sebagai pejabat publik.
"Pengalaman kita bilang gini: Kita belum punya aturan yang bilang bahwa pengusaha harus melepaskan usaha. Jadi, bayangkan kalau saya kontraktor, saya masuk dan kepilih," kata Pahala dalam agenda peluncuran 'Laporan Analisis Data LHKPN Cakada Tahun 2020' di Kantornya, Jakarta, Jumat (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kan amat susah, ya, kalau saya kontraktor kepilih jadi Kepala Daerah, konstruksi saya masih jalan loh ini," lanjutnya.
Pahala menuturkan lembaganya tengah membuat terobosan menyikapi maraknya pengusaha yang menjadi calon kepala daerah. Terobosan tersebut, katanya, lebih kepada kode etik, bukan regulasi.
"Lebih ke etik. Karena kalau regulasi seperti kita bilang, mereka protes: 'Itu hak saya dong untuk cari nafkah'. Tapi, kita bilang etik untuk benturan kepentingan. Bukan hanya kepala daerah, tapi pejabat publik," ucap Pahala.
"Ada Permenpan-RB tapi sangat normatif. Nah, kita ingin lebih praktikal terutama apa yang terjadi di daerah dengan pengusaha," imbuhnya.
Ia menuturkan, sudah banyak kasus di mana sesama pengusaha yang tersandung saat jadi kepala daerah, karena menganggap semua yang dikerjakan adalah benar dan tidak melawan hukum.
"'Saya pikir enggak apa-apa, atau apa salahnya saya enggak ambil duit'. Nah, itu jadi panjang urusan," ujar Pahala.