Hampir satu tahun pandemi Covid-19 meluluhlantakkan semua sendi kehidupan. Kesehatan publik dan ekonomi jadi yang terparah. Sebagian negara-negara di dunia mulai pulih. Puncak kasus dan gelombang kedua sudah dilewati. Penularan memang masih ada namun tak setinggi sebelumnya. Relatif bisa tertangani dengan jumlah yang tak lagi melonjak.
Namun Indonesia sepertinya masih jauh bicara soal puncak kasus. Penanganan yang disebut sesuai tak standar sains membuat puncak pagebluk ini tak bisa diramalkan.
Kita belum berani bicara soal gelombang kedua corona karena gelombang pertama saja belum tahu kapan bisa terlewati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penanganan pandemi di Indonesia memang dipertanyakan sejak awal. Terkesan meremehkan saat belum ada temuan kasus, dan kalang kabut saat mulai ada penularan.
Sudah sembilan bulan berlalu, penanganannya pun masih karut marut. Hal yang paling mudah dilihat adalah standar testing masih belum juga sesuai standar WHO.
Sialnya, meski angka testing rendah angka penularan malah sangat tinggi, jauh di atas ambang batas badan kesehatan dunia tersebut. Dengan kapasitas testing rendah, saat ini angka tambahan masih rata-rata 6000-an kasus. Belum ada tanda-tanda penurunan.
Angka kesembuhan juga masih rendah. Ini membuat jumlah kasus aktif terus bertambah. Jumlah kematian karena covid-19 di Indonesia juga terbilang tinggi.
Sejak awal tak dikenal istilah penguncian wilayah atau lockdown. Pemerintah hanya menerapkan pembatasan sosial, itu pun dengan sejumlah pelanggaran.
Saat ini, meski pembatasan tersebut masih berlaku, kehidupan layaknya normal seperti biasa. Bahkan kampanye wajib untuk mencegah penularan yakni 3M: masker, menjaga jarak, mencuci tangan, masih banyak dilanggar warga.
Dengan segala kekurangan dan bolong-bolong penanganan pandemi ini, harapan baru diembuskan, vaksin tiba di tanah air.
Kampanye "tak kenal maka tak kebal" mulai terlihat di pinggir jalan. Di media elektronik, kampanye soal penggunaan vaksin juga mulai dipublikasikan.
Ini terkait dengan kedatangan 1,2 juta dosis vaksin sinovac dari negeri tirai bambu, Tiongkok. Euforia mulai menggelora seakan-akan akhir pandemi sudah di depan mata.
"Alhamdulillah vaksin sudah tersedia, artinya kita bisa mencegah meluasnya wabah Covid-19," ujar Jokowi setelah komoditas itu tiba di Indonesia pekan lalu.
Namun ternyata, jauh panggang dari api. Bukan cuma vaksin yang sudah datang tersebut belum teruji efektivitas atau kemanjurannya, namun jumlahnya juga terbatas.
![]() |
Kelak jika memang jumlahnya sudah memadai, vaksin itu tak semua cuma-cuma. Siapa mau kebal maka harus membayar.
Dalam data yang pernah dirilis pemerintah, pemerintah hanya menyediakan vaksin gratis untuk sekitar 32 juta orang saja. Terdiri dari para tenaga kesehatan, pelayan publik, penegak hukum, hingga, hingga penerima bantuan iuran BPJS.
Padahal setidaknya butuh 107 juta orang yang divaksin. Jumlah setara sekitar 67 persen penduduk berusia 18-59 tahun yang perlu mendapat suntikan.
Total populasi RI adalah 267 juta. Pemerintah menilai penduduk yang perlu mendapat vaksin yang berusia 18-59 tahun yang berjumlah 160 juta orang. 67 persennya (standarnya 70 persen) perlu mendapat vaksin agar tercipta kekebalan kelompok atau herd immunity.
Jumlah 107 juta inilah yang akan divaksin. Hanya sekitar 32 juta yang akan mendapat gratis. Sementara sisanya sekitar 75 juta, harus merogoh kocek sendiri jika ingin divaksin.
Masalahnya di zaman susah sekarang, saat ekonomi sedang sulit, tidak semua orang punya uang atau mampu membayar vaksin. Harganya yang tak murah dan jumlahnya tak banyak.
Belum lagi permainan harga yang mungkin terjadi. Kita masih ingat kasus rapid test dan PCR mahal yang ditetapkan rumah sakit. Padahal harganya bisa ditekan setelah campur tangan pemerintah.
Jadi, kira-kira berapa orang yang sanggup membayar vaksin? Sementara kita berkejaran dengan penularan virus, dengan pola penanganan pandemi yang compang-camping.
Saat ini vaksin harus diberlakukan sebagai layanan publik di mana negara wajib menyediakannya untuk rakyat. Keselamatan dan kesehatan rakyat harus dinomorsatukan.
Sejumlah negara seperti Jepang, India, Bahrain dan negara-negara lain akan menggratiskan vaksin bagi rakyatnya. Kenapa Indonesia tidak? Semiskin itukah kita sehingga vaksin untuk rakyatnya sendiri saja tidak dibelikan?
Anggaran untuk pemulihan ekonomi tentu penting, namun keselamatan rakyat tentu harus diutamakan.
"Salus populi suprema lex esto. Keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi," demikian kata Kapolri Jenderal Idham Aziz, akhir Maret lalu. Karena itu, sudah seharusnya di bidang kesehatan prioritas tertinggi juga adalah keselamatan rakyat.
Jangan sampai saat negara-negara lain yang menggratiskan vaksin sudah terbebas dari corona, kita masih berkutat pada kampanye 3M atau menghitung jumlah kasus harian yang tak juga melandai. Sementara kapasitas ruang perawatan rumah sakit makin mengkhawatirkan.
Karena itu mau tidak mau demi keselamatan rakyat dan negara, sudah seharusnya semua berteriak: Gratiskan vaksin kami!
(asa)