Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Mualimin Abdi mendorong pembentukan Unit Presiden Penyelesaian Pelanggaran HAM Melalui Mekanisme Nonyudisial.
"Ini satu ikhtiar. Hanya saja perlu Perpres sebagai cantolan untuk mendorong mekanisme pemulihan," kata Mualimin dalam keterangan tertulis yang dibagikan Kantor Staf Presiden, Jumat (18/12).
Mualimin mengatakan penyelesaian pelanggaran HAM melalui mekanisme nonyudisial bukan suatu yang mudah. Namun, hal itu sudah sesuai dengan mandat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tenaga Ahli Utama Deputi V KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam kesempatan yang sama mengatakan pihaknya bakal ikut mengawal proses penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, baik secara yudisial maupun nonyudisial.
Salah satunya, dengan memastikan semua kebijakan yang dirumuskan sejalan dengan konstitusi dan prinsip-prinsip HAM Internasional.
"Terutama melalui upaya dialog antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam mencari titik temu penyelesaian masalah HAM masa lalu. Kami akan ikut mengawal bersama Presiden," kata Ruhaini.Ruhaini mengatakan Presiden Joko Widodo juga telah menyatakan komitmennya terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM. Dia juga menyebut pemerintah selalu berupaya menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat.
Ia menyatakan negara perlu tetap hadir bagi korban pelanggaran HAM masa lalu. Salah satunya dengan memberikan perbaikan segera dalam bentuk bantuan sosial ekonomi mendesak, terutama saat pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai.
"Juga perlu ada komitmen bersama baik pemerintah, legislatif, yudikatif, Komnas HAM, masyarakat, elite politik, dan pemangku kepentingan dalam penyelesaian masalah HAM masa lalu," tambah Ruhaini.
Ruhaini juga menekankan perlunya koordinasi yang lebih sistematis dan berkelanjtuan antara pemerintah pusat dan daerah sebagai garda terdepan penjaga hak.
Kepastian itu diperlukan untuk memastikan percepatan pemulihan dan aksi afirmasi terutama melalui pengadaan BPJS, beasiswa bagi anak korban, hingga kegiatan ekonomi berkelanjutan yang dapat mengembalikan kondisi hidup layak.
![]() |
Sementara itu, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo menegaskan, pihaknya tetap pada fokus pemulihan korban dan keluarga korban kasus HAM masa lalu melalui tiga pendekatan. Di antaranya bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial, dan bantuan psikologis.
Menurut Hasto, hal itu sesuai dengan pasal 6 ayat 1 UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Menurut dia, pemerintah bisa mengamanatkan pasal 7 ayat 1 UU No 31 tahun 2014 yang menyatakan korban pelanggaran HAM berat dan korban tindak pidana terorisme berhak mendapat kompensasi.
"Maka kami mendorong agar pemerintah punya alokasi khusus yang spesifik disebutkan dalam nomenklatur anggaran untuk korban. Sehingga ada perhatian besar pada upaya pemulihan ini," pungkas Hasto.
Sebelumnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan koalisi korban pelanggaran HAM berat masa lalu meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin menjalankan perintah Presiden Jokowi untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Mereka menuntut pelanggaran HAM berat masa lalu diselesaikan lewat jalur yudisial.
"Kami mendesak agar jaksa agung segera melaksanakan perintah presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur yudisial dengan menindaklanjuti laporan penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan dan penuntutan," ujar mereka dalam keterangan tertulis yang dikutip dari situs Kontras, Rabu (16/12).
Desakan tersebut disampaikan melalui surat terbuka untuk merespons pernyataan Jokowi. Seperti diketahui pada Senin (14/12) lalu Jokowi menyatakan Kejaksaan Agung adalah aktor kunci dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
(dmi/pmg)