Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai sektor penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada satu tahun kepemimpinan Firli Bahuri mengalami masalah.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan bidang penindakan memiliki sejumlah fungsi di antaranya sebagai pesan kuat dalam konteks pemberian efek jera kepada para pelaku korupsi.
"Selama kurun waktu satu tahun kepemimpinan Firli Bahuri, KPK menuai banyak problematika pada aspek penindakan," kata Kurnia dalam agenda webinar 'Evaluasi Satu Tahun KPK, Penguatan Semu Pemberantasan Korupsi', Rabu (23/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kurnia menyoroti kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjadi ciri khas penindakan KPK menurun drastis dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini KPK mencatatkan OTT sebanyak tujuh kali termasuk meringkus dua menteri Kabinet Indonesia Maju Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Jumlah itu masih jauh jika dibandingkan dengan tahun 2019 dengan 21 OTT, 2018 (30), 2017 (19), dan 2016 (17).
Ia juga menyoroti penyelesaian tunggakan perkara besar yang tak jelas penanganannya. Perkara yang dimaksud seperti korupsi e-KTP yang membuat rugi negara Rp2,3 Triliun dan kasus penerbitan surat keterangan lunas terhadap obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan nilai kerugian negara sebesar Rp4,58 Triliun.
Selain itu juga kasus pembangunan pusat pelatihan dan pendidikan olahraga di Hambalang dengan nilai kerugian keuangan negara Rp463 miliar dan kasus dana talangan atau bailout Bank Century dengan nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp7,4 triliun.
"KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri praktis tidak menyentuh perkara-perkara besar yang selama ini menjadi tunggakan di lembaga antirasuah tersebut," ujar Kurnia.
Lebih lanjut, ia mengkritik bertambahnya buronan korupsi di era kepemimpinan KPK Jilid V. Dari lima buronan yang belum ditangkap, ada dua yang kabur di era Firli Bahuri dkk yakni Harun Masiku dan Samin Tan.
"Dalam beberapa kesempatan, sikap ketidakjelasan itu secara terang benderang diperlihatkan," ungkapnya.
Selain hal di atas, Kurnia juga mempertanyakan kewenangan supervisi dan pengambilalihan perkara yang tidak digunakan KPK dalam sengkarut kasus Djoko Tjandra yang ditangani Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
"Tindakan KPK kala itu hanya sebatas melakukan supervisi semata, padahal dengan melandaskan pada beberapa pertimbangan, misalnya penanganan ditujukan untuk melindungi pelaku sesungguhnya atau adanya hambatan karena campur tangan kekuasaan, lembaga antirasuah dapat mengambil alih seluruh perkara," imbuh dia.
CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi Firli Bahuri melalui pesan singkat untuk meminta respons atas pendapat ICW di atas. Namun, hingga berita ini ditulis belum diperoleh jawaban dari jenderal polisi bintang tiga tersebut.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, menjawab normatif kritik ICW. Ia hanya menyampaikan KPK menghargai pendapat tersebut dan akan menyampaikan laporan tahunan di akhir tahun ini.
"Dan saat itu tentu akan disampaikan data terkait capaian hasil kerja KPK tersebut," ucap Ali melalui keterangan tertulis.
Diketahui pimpinan KPK Jilid V ini dilantik Presiden Joko Widodo pada Jumat, 20 Desember 2019. Selain Firli, ada Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar dan Nurul Ghufron yang menjadi Komisioner KPK.
(ryn/pmg)