
Mensos Risma, Emosional, dan Tantangan Jaga Independensi

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini resmi menjabat sebagai menteri sosial (Mensos). Perempuan yang karib disapa Risma itu ditunjuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menggantikan Juliari Batubara yang tersangkut kasus korupsi.
Posisi menteri ini adalah jabatan pertama Risma di level nasional. Ia lama berkarir di birokrasi pemerintahan Surabaya sebagai pegawai di kedinasan, hingga akhirnya menjadi wali kota satu dekade terakhir.
Selama dua periode memimpin Kota Pahlawan, Risma dikenal publik sebagai pemimpin yang kerap melakukan terobosan. Ia juga dicap sebagai pekerja keras, dan mau terjun langsung ke tengah masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan kebersihan kota hingga kemacetan.
Namun, tak jarang Risma terlihat emosional dan temperamental. Misalnya saat Taman Bungkul yang rusak 2014 silam, memarahi ASN saat apel, atau mengamuk saat mobil laboratorium Swab PCR diambil alih oleh Pemprov Jawa Timur beberapa bulan lalu.
Risma mengakui dirinya memang terkadang galak dan suka marah-marah. Risma mengatakan hal itu terjadi karena ada permasalahan pekerjaan yang belum terselesaikan.
Namun ia mengingatkan para pegawai di Kementerian Sosial agar tidak takut karena citra sebagai orang galak dan suka marah-marah tersebut lekat dengan dirinya.
"Saya orangnya sangat detail, kadang-kadang galak, kalau ada yang kurang saya marah, tapi kalau saya marah jangan takut, setelah itu selesai, kok," kata Risma usai Sertijab di Kantor Kemensos, Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (23/12).
Kendali Emosi
Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdussalam mengatakan sikap temperamen Risma tersebut bukan sebuah masalah besar. Menurutnya, sikap tersebut akan menjadi pemicu kinerja jajaran di Kementerian Sosial.
"Risma bisa marah sejadi-jadinya jika ada ketidakberesan pekerjaan, yang asal-asalan. Beliau tipe pekerja yang terukur dan fokus menguasai detail teknis dan sistem," kata Surokim kepada CNNIndonesia.com, Kamis (24/12).
Surokim menilai sikap emosional Risma itu akan keluar jika melihat ketidakadilan. Hal itu cocok dengan posisinya sebagai menteri yang membidangi persoalan sosial saat ini.
"Terkait drama-drama sebagai tokoh politisi, sejauh yang saya tahu, Risma memang tipe orang yang tidak tegaan, bisa emosional ketika melihat ketidakadilan," ujarnya.
Selama menjadi wali kota, Risma juga berani mendobrak kebijakan pemerintah pusat. Salah satunya, saat ia menolak kebijakan pemerintah pusat soal pengalihan pengelolaan SMA/SMK ke tangan pemerintah provinsi bukan pemerintah kabupaten/kota, sebagaimana diatur Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun, menurut Surokim, hal itu tak akan terulang. Pengalaman Risma sebagai birokrat di kedinasan Pemkot Surabaya adalah buktinya. Risma akan bekerja sesuai tupoksi.
Surokim juga tak khawatir, Risma nantinya akan lebih mengutamakan visi misinya sendiri sebagai menteri ketimbang menuruti perintah Jokowi sebagai atasan. Ia meyakini politikus PDI-Perjuangan itu justru akan sangat membantu kerja-kerja Jokowi.
Apalagi, kata Surokim, Risma memiliki gaya memimpin yang sama seperti Jokowi, yakni mengutamakan bekerja dengan turun langsung ke lapangan. Dengan karakter itu Risma justru makin mendongkrak citra positif Jokowi.
"Saya tidak terlalu mengkhawatirkan Risma akan menjadi matahari kembar, karena beliau pernah menjadi bawahan hingga menjadi kepala dinas dan juga bekerja untuk atasan," katanya.
Kendati demikian, menurut Surokim, Risma juga harus bisa menempatkan diri dan lebih berhati-hati, menghadapi dinamika politik di pemerintahan pusat atau DKI Jakarta yang berbeda dengan di daerah.
"Menurut saya Bu Risma harus juga ekstra hati-hati karena dinamika di Jakarta jelas kompleks, dan godaan jauh lebih kuat. Hati hati dan integritas menjadi kunci," ujarnya.
Tugas yang Berbeda
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo mengatakan bahwa tugas yang akan diemban Risma di kementerian nanti sangat berbeda dengan kerjanya selama ini sebagai wali kota.
Menurutnya, Risma akan berhadapan dengan permasalahan yang lebih kompleks, yakni soal kemanusiaan dan pengelolaan anggaran bantuan saat memimpin Kementerian Sosial.
"Kementerian Sosial yang dikaji bukan bangunan fisik seperti taman, tapi soal kemanusiaan dan humanisme. Di situ lah Bu Risma harus menyesuaikan orientasi kerjanya," kata Suko.
Risma, kata dia, juga harus mau banyak mendengar arahan Jokowi, hingga belajar dari bawahannya di kementerian nanti. Hal itu tak lain untuk memperlancar kerjanya memimpin lembaga di tingkat nasional.
"Bu Risma harus banyak mendengarkan, harus mau belajar dari dirjen-dirjen yang berpengalaman," ujarnya.
Selain itu, Suko menyebut Risma juga harus selalu tunduk pada setiap perintah Jokowi. Menurutnya, Risma tak bisa bertindak sesuai kehendaknya sendiri. Suko menegaskan bahwa tugas wali kota dengan menteri sangat berbeda.
"Kalau sekarang dipilih presiden, pembantu presiden mau tidak mau harus tunduk. Berbeda dengan saat menjadi wali kota yang dipilih rakyat," katanya.
Di sisi lain, Suko berpendapat pengangkatan Risma sebagai mensos, juga merupakan langkah Jokowi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah yang belakangan digoncang skandal korupsi.
Suko menilai keputusan Jokowi memilih Risma sangat lah tepat. Sebab, Risma merupakan salah satu tokoh yang dinilainya memiliki kredibilitas dan kepercayan publik tinggi. Hal itu tak lepas dari prestasinya sebagai wali kota.
"Dalam perspektif kepentingan Jokowi, beliau sedang berusaha membangun trust baru di mata masyarakat. Trust baru itu dengan memilih orang-orang yang memiliki kepercayaan publik tinggi seperti Bu Risma," ujarnya.
Independensi
Di sisi lain, Pengamat Politik Surabaya Survei Centre (SSC), Mochtar W Oetomo menilai penunjukan Risma sebagai menteri merupakan langkah strategis untuk membangun karier politik di kancah yang lebih tinggi.
"Ini capaian strategis Risma untuk mebangun jalan politik berikutnya. Baik dikaitkan dengan konteks Pilgub DKI maupun Pilgub Jatim ke depan, atau bahkan dikaitkan dengan konstalasi Pilpres 2024," kata Mochtar.
Jabatan menteri ini, kata Mochtar, adalah panggung politik yang lebih besar untuk Risma. Meski begitu tanggung jawab yang diemban pun lebih berat. Risma harus bisa menjawab ekspektasi publik ketika menjadi mensos.
Menurutnya, sebagai mensos baru, Risma juga akan menghadapi berbagai problem internal kementerian sepeninggal menteri sebelumnya yang terjarat perkara korupsi. Belum lagi soal citra lembaga yang rusak karena kasus tersebut.
"Mengembalikan citra diri Kemensos tentu bukan pekerjaan gampang yang bisa ditempuh dengan cepat. Setidaknya Risma harus membuktikan Kemensos akan lebih bersih dan berintegrasi ke depannya," ujarnya.
Belum lagi, kata Mochtar, Kemensos kini dikaitkan dengan kepentingan politik jejaring partai. Dalam hal ini Risma memiliki tantangan besar untuk bisa menunjukkan kepada publik bahwa lembaganya bisa independen dari kepentingan politik partai tertentu.
"Risma telah berhasil menunjukkan keberhasilannya bisa lepas dari kepentingan oligarki politik selama dua periode jadi Wali Kota Surabaya. Dan mudah mudahan kembali bisa Risma buktikan saat menjadi Mensos," katanya.
(frd/fra)[Gambas:Video CNN]