"Nes, kalau reshuffle di Istana gimana liputannya?"
Pertanyaan ini seringkali muncul jelang perombakan kabinet (23/12) lalu. Pertanyaan ini juga relevan sebab sejak pandemi Covid-19, liputan di Kompleks Istana Kepresidenan mengalami banyak perubahan.
Jawaban yang saya berikan hampir selalu sama: "Mungkin ada streaming dari Biro Pers. Paling buruk, enggak bisa doorstop di pilar Istana Negara."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pewarta sejatinya berada di lokasi kejadian saat meliput. Wajib hukumnya bagi wartawan untuk melihat langsung, bertanya pada narasumber, kemudian melaporkan kepada khalayak. Namun sejak Covid-19, hampir semua acara peliputan digelar virtual.
Di Istana sendiri, sejak pandemi, berbagai kegiatan maupun pernyataan pers Presiden Jokowi disiarkan secara streaming melalui akun YouTube Sekretariat Presiden.
Sejak pandemi pula, rapat terbatas dan sidang kabinet awalnya berlangsung virtual. Namun sejak 18 Juni 2020, sidang kabinet berlangsung tatap muka. Tapi, kami tetap meliput secara virtual. Rapat terbatas dan konferensi pers disiarkan melalui YouTube dan juga di dua layar besar di press room. Layar besar ini berukuran 86 inci dan 118 inci.
Lihat juga:Jokowi: 2020 Tahun Penuh Ujian dan Tantangan |
Jika ada ada sesi tanya jawab, kami kumpulkan pertanyaan di grup WhatsApp wartawan Istana. Kemudian, reporter TV menanyakan pertanyaan secara virtual, karena banyak, maka tak jarang para menteri kaget ketika ada lebih dari 10 pertanyaan yang diajukan.
Selain itu, keterangan pers mengenai perkembangan kasus Covid-19 yang berlangsung Selasa dan Kamis sore juga disiarkan virtual melalui layar besar tersebut. Kehadiran fisik para wartawan televisi di press room ini menjadi penting saat tiba-tiba ada pernyataan pers yang tidak disiarkan virtual, atau ada pejabat yang bersedia di-doorstop langsung.
Wartawan televisi yang siaga biasanya merekam suara dan membagikan hasil rekaman ini untuk teman-teman yang work from home.
Yang terburuk, kami tak bisa lagi langsung bertanya ke Presiden soal isu-isu terkini. Sebelum pandemi, setidaknya dua kali dalam sepekan kami bisa wawancara Presiden. Kami menyebutnya dengan istilah doorstop interview.
Doorstop biasanya dilakukan saat kegiatan di dalam maupun di luar Istana. Bisa dibilang doorstop adalah momen yang paling dinanti wartawan Istana.
"Kalau Presiden lagi acara di luar Istana tuh, bukan hanya acaranya saja yang penting. Yang lebih penting lagi jagain doorstop-nya. Lari-larian enggak apa-apa deh, layak dikejar," ujar salah satu reporter televisi, Dwi Suci.
Meski sungguh dinanti, 'jadwal' doorstop tak selalu pasti. Terlepas dari apakah Presiden berkenan diwawancara atau tidak, biasanya para wartawan Istana sudah berbaris rapi di pintu keluar acara yang bakal dilalui Presiden Jokowi.
![]() |
Press room atau dulunya dikenal dengan Bioskop ini direnovasi pada 2016 lalu. Sebelum pandemi, press room diisi puluhan wartawan. Kini hanya belasan.
Press room hampir selalu ramai. Mulai dari riuhnya wartawan TV yang berkoordinasi untuk mengirim gambar melalui alat satelit portable hingga suara ketikan keyboard komputer dan laptop dari wartawan cetak dan daring.
Namun, keriuhan ini tak lagi bisa ditemui sejak pandemi, apalagi setelah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Sejak PSBB, masing-masing perusahaan media ibu kota memberlakukan sistem work from home. Sehingga banyak media televisi maupun cetak dan online yang tak lagi liputan di Istana.
Press room kini maksimal hanya diisi 20 orang. Istana mulai membatasi jumlah orang dan yang bisa masuk press room pun wajib menunjukkan hasil rapid test negatif. Untuk menuju halaman Istana Negara, wartawan bahkan diwajibkan menunjukkan hasil PCR/Swab test. Alhasil, kami tak lagi bisa 'mangkal' di pilar Istana.
Pilar Istana biasanya menjadi tempat mangkal karena di situlah kami bisa cegat pejabat yang keluar dari Istana Negara, Istana Merdeka, atau Kantor Presiden untuk ditanya-tanya. Apa pun kegiatannya, baik internal maupun kegiatan terbuka, biasanya kami bakal menunggu para pejabat di situ untuk diwawancarai.
Pilar Istana ini semacam menjadi pintu masuk dan keluar dari gedung-gedung itu. Jadi, terbayang kan sepenting apa pilar ini bagi kami para wartawan Istana yang mengejar narasumber?
Kami tak bisa ke mana-mana selain press room. Press room Istana kini kembali pada jati dirinya menjadi bioskop, tentunya dalam konteks yang berbeda. Pada era Presiden Soekarno, ruangan ini adalah gedung bioskop.
Sementara saat Presiden Soeharto, para pegawai Istana Kepresidenan kerap menyaksikan film di bioskop usai salat Jumat-dan kini menjadi press room.
Dua layar raksasa itu membuat press room kembali jadi bioskop.
Bedanya, layar itu bukan menyajikan hiburan tapi pusat informasi agar kami wartawan Istana tetap bisa meliput kegiatan secara virtual. Sungguh 'New Normal' liputan Istana saat pandemi.
(asa/asa)