Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum bersikap dan mengaku bakal mencari jalan tengah merespons terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Dalam aturan itu, disebutkan bahwa dokter atas perintah jaksa melakukan pelaksanaan tindakan kebiri kimia kepada pelaku persetubuhan.
"Di internal kami sedang ditelaah juga apa opsi-opsi jalan tengah," ujar Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI, Nazar, kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (5/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nazar mengaku heran ada aturan yang mengatur dokter menjadi pelaksana tindakan kebiri kimia. Sebab, terang dia, perlakuan itu bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter.
Ia menambahkan IDI akan berkomunikasi dengan Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan HAM, dan pihak terkait lainnya untuk membahas lebih lanjut PP yang dimaksud. Hanya saja, ia tidak menyampaikan kapan tepatnya komunikasi akan dilakukan.
"Iya, sekarang itu kok jadi begitu bunyinya [PP 70/2020]. Nah, itu nanti yang akan kita bicarakan. Tapi kan juga dari awal sudah bilang itu bertentangan dengan kode etik dan sumpah dokter. Nah, itulah nanti kita akan bicara dengan Kejaksaan Agung, dengan Kemenkumham. Ada jalan tengahnya," ucap dia.
Jauh sebelumnya, Ketua Umum IDI, Daeng M. Faqih sempat menegaskan pihaknya menolak menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kejahatan kekerasan seksual. Hal itu disampaikannya merespons vonis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto kepada Terpidana pemerkosaan 9 anak, Muh Aris bin Syukur, yang dihukum kebiri kimia.
Daeng mengungkapkan dua alasan dibalik penolakan tersebut. Pertama, menurut dia, kebiri kimia merupakan bentuk hukuman bukan pelayanan medis.
Kemudian, jika dokter menjadi eksekutor kebiri kimia, maka berpotensi menimbulkan konflik norma yakni etika kedokteran. Daeng menjelaskan, perintah organisasi kesehatan dunia (WHO) dan undang-undang kesehatan melarang tindakan kebiri kimia tersebut.
Sementara untuk diketahui, berdasarkan PP 70/2020, tindakan kebiri kimia dilakukan melalui sejumlah tahapan yaitu penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan.
Ada pun penilaian klinis meliputi wawancara klinis dan psikiatri; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan penunjang.
Hasil penilaian klinis ini menjadi syarat apakah pelaku persetubuhan layak atau tidak layak untuk dikenakan tindakan kebiri kimia. Jika dinyatakan layak, pelaksanaan hukuman kebiri kimia dilakukan segera setelah Terpidana selesai menjalani pidana pokok.
"Jaksa memberitahukan kepada korban atau keluarga korban bahwa telah dilakukan pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia," demikian bunyi Pasal 9 huruf g PP tersebut.
(ryn/ain)