Mantan narapidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir menghirup udara bebas usai keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Jumat (8/1) sekitar pukul 05.30 WIB.
Ba'asyir bebas usai 9 tahun 6 bulan menjalani masa tahanan dari total 15 tahun vonis penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Juni 2011.
Ia terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di Pegunungan Jantho, Aceh setahun sebelumnya pada 2010.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga sempat dituding ikut dalam pendirian Jemaah Islamiyah (JI) saat menjadi tahanan rumah dan kabur ke Malaysia pada 1985.
Ba'asyir memang sempat menolak tudingan pendirian gerakan yang disebut berafiliasi dengan Al-Qaeda tersebut. Namun faktanya, dalam tiga dekade terakhir, nama Ba'asyir selalu lekat dalam jaringan teror di Indonesia.
Jejak gerakan Ba'asyir, membuat pemerintah sempat meminta pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) itu untuk tunduk dan berikrar setia terhadap Pancasila pada 2019 sebagai syarat pembebasan kala itu.
Namun, Ba'asyir tegas menolak. Melalui kuasa hukumnya, Achmad Michdan, Ba'asyir menolak karena mengaku tak pernah terlibat dalam gerakan radikal seperti yang ditudingkan sejumlah pihak kepadanya.
Oleh karena itu, menurut Michdan, penandatanganan dokumen setia pada NKRI sama saja dengan Ba'asyir mengakui perbuatannya.
"Surat itu dalam satu surat yang isinya sekaligus. Pertama mengakui dia bersalah. Kedua menyesali perbuatan itu dan tidak mau mengulangi perbuatannya lagi. Itu saja sudah salah. Baru setia kepada NKRI dan Pancasila. (Poin-poin) itu satu kesatuan," kata Michdan 2019 silam.
"Jadi kalau ada tuduhan bahwa ustaz (Ba'asyir) mengetahui itu latihan militer sehingga membentuk angkatan perang, ustaz tidak mau," imbuhnya.
![]() |
Pernyataan itu berbeda dengan penuturan Yusril Ihza Mahendra pada 2019, saat mengunjungi Ba'asyir di Lapas Gunung Sindur mewakili Presiden Joko Widodo.
Menurut Yusril, Ba'asyir menolak mengakui Pancasila karena hanya ingin setia pada syariat Islam dan penegakannya di Indonesia.
"Saya hanya setia kepada Allah, saya hanya patuh pada Allah, dan saya tidak akan patuh pada selain itu," ujar Yusril menirukan ucapan Ba'asyir saat itu.
Sikap keras kepala Ba'asyir membuatnya harus gagal bebas bersyarat dari masa tahanannya. Penolakan Ba'asyir bertolak belakang dengan keinginan Jokowi yang kala itu ingin Ba'asyir bebas namun setia pada NKRI.
Sementara itu, putra Ba'asyir, Abdul Rochim mengatakan ayahnya bukan menolak NKRI. Rochim bilang bahwa ayahnya hanya menolak Pancasila karena bertentangan dengan syariat Islam yang mestinya ditegakkan di Indonesia.
"Beliau tidak mau menandatangani karena itu keyakinan beliau karena bertentangan dengan keyakinan Islam," katanya.
Kini, usai bebas murni, Ba'asyir disebut akan menjalani program deradikalisasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Direktur Penegakan Hukum BNPT, Brigjen Pol Eddy Hartono menyebut deradikalisasi terhadap Ba'asyir telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah Nomor 77/2019.
Dalam menjalankan program tersebut, Eddy menuturkan, BNPT akan berkomunikasi dengan keluarga Ba'asyir.
Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang pernah tertanam pada seseorang.
(thr/psp)