Ketua Satgas Covid-19 PB IDI Zubairi Djoerban menyarankan sebaiknya pemerintah mengurangi ancaman sanksi pidana bagi masyarakat yang menolak pemberian vaksin covid-19. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Zubairi melalui unggahan dalam akun Twitter resminya, @ProfesorZubairi.
"Baiknya, narasi-narasi hukuman pidana bagi penolak vaksin dikurangi," tulisnya, dikutip Rabu (13/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih memberikan ancaman pidana, ia menilai sebaiknya pemerintah memberikan sosialisasi dan edukasi. Dengan demikian, pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap vaksin covid-19 bertambah, sehingga mengurangi aksi penolakan vaksin covid-19 tersebut.
"Buatlah sosialisasi yang kreatif dan edukatif. Saya rasa, mereka punya niat sama untuk atasi pandemi ini. Ajak diskusi. Jika sosialisasi maksimal, bisa jadi jumlah penolak vaksin akan berkurang. Ikhtiar," imbuhnya.
Pemberian sanksi kepada masyarakat yang menolak vaksin virus corona pernah disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej. Ia menyatakan jika vaksinasi bersifat wajib bagi warga Indonesia.
"Jika ada warga negara tidak mau divaksin bisa kena sanksi pidana. Bisa denda, bisa penjara, bisa juga kedua-duanya," ucap Edward dalam sebuah webinar, Sabtu (8/1) lalu.
Edward merinci pemberian sanksi tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan bahwa setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan bisa dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp100 juta.
Sementara itu, pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mengatur sanksi bagi penolak vaksin melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19.
Dalam aturan yang ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu disebutkan jika setiap orang yang dengan sengaja menolak vaksin akan dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5 juta. Namun, lingkup pemberlakuan Perda tersebut hanya terbatas pada wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Kritik mengenai ancaman pidana bagi penolak vaksin covid-19 itu juga pernah disampaikan Zubairi. Ia mengatakan warga atau pasien boleh memilih untuk disuntik vaksin atau tidak setelah diberikan penjelasan oleh pihak yang memiliki kewenangan. Dengan kata lain program vaksinasi harus dengan persetujuan warga atau pasien.
"Biasanya di kedokteran ada istilah konfidensialitas dan konsen. Konsen artinya setelah diberi penjelasan, maka pasien boleh memilih, mau disuntik atau tidak, mau disuntik atau tidak mau obat ini atau tidak," kata Zubairi belum lama ini.
(ulf/ain)