Jakarta, CNN Indonesia --
Yusuf (55) -bukan nama sebenarnya- duduk terkulai di ruang tamu rumahnya, kawasan Lengkong, Kota Bandung, Jawa Barat. Di hadapannya, tumpukan buku yasin tergeletak.
Beberapa toples kue kering, satu dus air mineral kemasan, serta beberapa sisir pisang berjejer untuk para tamu yang melayat.
Yusuf baru saja kehilangan sang istri menjelang awal tahun 2021. Sang istri, Indah (50) -bukan nama sebenarnya- meninggal setelah mengalami sesak napas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut cerita Yusuf, Indah awalnya hanya batuk-batuk kering. Gejala awal tersebut kemudian bertambah parah setelah sepekan dibiarkan. Indah merasa sesak, tak bisa makan, dan lemas hingga tak bisa bangun dari tempat tidur.
Pada 10 Desember 2020, Indah dibawa ke sebuah puskesmas di Bandung. Setelah menjalani rapid tes antibodi dan reaktif Covid-19, Indah lalu dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).
"Di RSHS swab dan hasilnya positif, saya optimis waktu itu istri saya bisa sembuh karena bukan komorbid," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com di rumahnya, akhir Desember 2020.
Sepekan lebih Indah menjalani perawatan, hasilnya tak kunjung membaik. Ia mendapat diagnosis bronkhitis positif virus corona. Indah wafat pada 22 Desember 2020.
Yusuf tak bisa menerima. Menurutnya, sang istri tak pernah berpergian ke luar rumah, seperti dirinya yang bekerja. Rasa tak terima bertambah ketika dirinya tak diizinkan memandikan dan mensalatkan jenazah mendiang belahan jiwanya tersebut.
Ia sempat meminta kepada pihak rumah sakit agar dirinya bisa ikut memulasarkan jenazah Indah ketika mengisi surat keterangan kematian, namun tetap tak diizinkan.
"Tetap enggak bisa, pihak RS bilang SOP pemulasaran jenazah Covid-19 dilakukan di RS, berat saya terima itu," ujarnya.
Yusuf juga tak bisa berada di ambulans yang membawa istrinya. Ia hanya mengikuti di belakangnya dengan sepeda motor bersama keluarga dan kerabat lainnya.
Indah dimakamkan di TPU Khusus Covid-19 di Cikadut, Jatihandap. Yusuf hanya bisa melihat jenazah istrinya yang berada di dalam peti dari kejauhan. Kesedihan dan penyesalannya kian menggunung.
"Saya enggak bisa lihat wajahnya untuk terakhir kali. Kalau diberi kesempatan kedua, saya enggak akan bandel keluyuran dengan teman-teman di akhir pekan dan istri saya enggak akan kena Covid-19, dia akan di sini mendampingi saya," kata Yusuf.
Selepas pemakaman sang istri, Yusuf juga tak menggelar tahlilan dengan mengundang keluarga dan tetangganya. Namun, ia tetap mempersilakan jika ada tetangga yang datang membacakan Surat Yasin untuk istrinya.
"Enggak ada yasinan, kalau mau berdoa di sini boleh, tapi kita enggak ngundang, yasinan sendiri aja," ujarnya.
Cerita lainnya datang dari Surabaya. Seorang karyawan swasta, Girarda (29), menceritakan pengalaman harus merelakan calon suaminya berpulang setelah positif Covid-19.
Girarda akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Rencananya untuk mengikat janji sehidup semati itu pun kandas.
Dari ruangan isolasi di sebuah rumah sakit khusus Covid-19 di Surabaya, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa kekasihnya telah tiada.
"Waktu itu adiknya menelpon, ngabarin mas [panggilan akrab mendiang] wafat. Dari telepon itu saya rasanya masih enggak percaya," kata Girarda.
Girarda juga dinyatakan positif Covid-19. Ia menjalani isolasi di rumah sakit. Girarda pun tak bisa melihat calon kepala rumah tangganya itu untuk terakhir kalinya.
[Gambas:Video CNN]
Ia baru menerima kenyataan telah ditinggal kekasihnya itu ketika surat keterangan kematian yang ditandatangani pihak keluarga tercantum nama calon suaminya.
"Saya gak bisa lihat dia karena posisi saya juga sakit, rasanya seperti petir di siang hari," ujarnya.
Girarda harus menahan pilu karena tak bisa mengantar kepergian kekasihnya itu. Upacara pemakaman (misa pemakaman), yang biasa dilakukan ketika penganut katolik meninggal, pun tak digelar.
Misa pemakaman biasanya dihadiri keluarga dan orang-orang terdekat. Misa dilangsungkan di gereja oleh pendeta, membacakan doa, dan penghormatan terakhir untuk mendiang.
Semua ritual itu tak berlaku. Jenazah kekasihnya itu harus segera dikuburkan dengan protap Covid-19, tanpa doa-doa syahdu di gereja, tanpa diantar oleh keluarga. Pemakaman pun berlangsung singkat.
Menurutnya, upacara pemakaman sendiri erat kaitannya dengan penghormatan terhadap almarhum. Ibaratnya, seperti mengantarkan almarhum bertemu dengan Yang Maha Kuasa.
"Itu semua enggak ada, pemakaman apa-apa, kita doa dari rumah, saya merasa berat sekali tak bisa mengantarkan mas sampai akhir," kata Girarda.
Semata Wayang Hilang
Sama seperti Yusuf dan Girarda. Arisman (33), warga Jakarta, juga harus melepas kepergian anak semata wayangnya yang positif virus corona tanpa bisa mengantarnya.
Arisman tak pernah menduga anak perempuannya itu harus pergi meninggalkannya begitu cepat. Ia bahkan merasa masih dalam mimpi setelah kehilangan sang anak yang baru ia daftarkan PAUD tersebut.
Anaknya itu masih berusia 5 tahun. Ia tiba-tiba demam dan sesak napas. Arisman menganggap anaknya itu hanya kelelahan usai bermain. Ia lantas memberikan obat pereda demam.
"Tapi besok paginya, dia enggak bisa bangun," kata Arisman parau dari seberang telepon.
Arisman dan istrinya panik bukan kepalang. Nomor rumah sakit yang disimpan dalam buku telepon di ponselnya ia hubungi satu persatu. Setelah kurang lebih 30 menit, ambulans datang ke rumahnya di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Tiba di rumah sakit, sang anak langsung masuk UGD. Berdasarkan cerita Arisman, UGD saat itu penuh sesak, beruntung anaknya bisa masuk UGD bangsal khusus anak.
Pihak rumah sakit langsung meminta Arisman, istri, dan anaknya, yang terbaring dengan oksigen serta infus di tangan, untuk tes swab Covid-19. Empat hari kemudian hasil tes keluar. Mereka bertiga dinyatakan positif Covid-19.
Arisman diminta untuk menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Ia tak boleh mengunjungi rumah sakit, tempat sang anak dirawat. Meski berat, ia menuruti peraturan tersebut.
"Anak saya masuk RS itu 5 Agustus 2020, 9 Agustus saya pulang untuk isolasi mandiri, 10 Agustus saya ditelepon pihak RS anak saya dalam kondisi kritis, saya langsung ke sana, meski dilarang," ujarnya.
Kedatangan Arisman berujung konflik dengan pihak RS. Ia meminta untuk bertemu sang anak, namun tetap dilarang oleh petugas keamanan. Sang istri saat itu memohon kepada resepsionis agar diizinkan bisa menengok anaknya.
Belum habis emosinya, Arisman diberitahu bahwa anak satu-satunya tersebut telah meninggal dunia.
"Saya disodori surat keterangan kematian, diminta isi, saya enggak bisa dengar apa-apa setelah itu, pikiran saya enggak fokus. Sekitar lima jam saya pegang itu surat di ruangan isolasi, apa harus saya isi, pikir saya saat itu," kata Arisman.
Arisman meminta pihak RS untuk menunggu proses pemulasaran jenazah hingga dirinya dan sang istri negatif Covid-19. Ia yakin, jika diberikan waktu satu minggu, tubuhnya bisa melawan Covid-19 hingga dinyatakan negatif.
"Surat keterangan kematian itu saya pegang, tapi enggak saya tanda tangan, saya mau mengantar anak saya ke pemakaman," ujarnya.
"Saya minta pulpen ke petugas untuk isi form keterangan kematian itu, habis itu rasanya dunia saya gelap," sambungnya.
Arisman dan istrinya harus rela tak mendampingi anaknya, mulai saat dimandikan, dikafankan, hingga dimakamkan. Buah hatinya tersebut dimakamkan di TPU khusus Covid-19, Pondok Ranggon. Ia benar-benar tak melihat anaknya masuk ke pusara.
"Saya di rumah bersama istri, sementara anak kami dimakamkan sendirian," kata Arisman yang terdengar menangis. Ia berat untuk mengulang lagi cerita kelam dalam hidupnya tersebut.
Arisman mengaku baru bisa ikhlas kehilangan putrinya setelah lima bulan berduka. Meski demikian, jika berziarah, ia tetap merasa bersalah karena sang anak harus meninggal dalam usia yang masih belia.
"Dia enggak ada salah apa-apa, semua kesalahan ada di saya sampai dia harus berpulang," ujarnya.
Pemulasaran Jenazah Covid-19
Rumah Sakit berperan besar dalam prosesi pemulasaran jenazah Covid-19. Pemulasaran jenazah mulai pemindahan dari ruang rawat hingga diantarkan oleh ambulans, seluruhnya dilakukan oleh petugas khusus jenazah Covid-19.
Petugas Administrasi Pemulasaran Jenazah RSPI Sulianti Saroso, Sahrul Huda mengatakan bersama rekannya setidaknya melakukan pemulasaran jenazah satu kali sehari. Saat kasus Covid-19 meningkat, bisa dua sampai tiga jenazah dalam sehari.
"Hampir setiap hari ada pemulasaran jenazah (positif Covid-19)," kata Sahrul.
Sahrul bersama rekannya juga mendokumentasikan proses pemulasaran jenazah untuk diberikan kepada pihak keluarga yang meminta. Dokumentasi tersebut bisa berupa foto atau video.
"Kita berikan, kemudian kita hapus, mereka jelas ingin melihat keluarganya untuk yang terakhir," ujarnya.
Sahrul menyebut saat awal pandemi, ada keluarga yang meminta pemakaman secara biasa, tanpa protokol Covid-19. Namun, setelah kasus melonjak, pihak keluarga tak ada lagi meminta pemakaman seperti pada umumnya.
"Setelah ke sini-sini, enggak ada lagi yang keberatan dengan protokol Covid-19," kata Sahrul.
Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RSUP Persahabatan, Putri Dianita telah berjibaku menangani pemulasaran jenazah Covid-19 sejak awal Maret lalu.
Setiap hari, rata-rata ia melangsungkan satu kali pemulasaran jenazah. Saat kasus Covid-19 meningkat, pemulasaran jenazah bisa terjadi tiga sampai tiga kali sehari.
Putri menyebut pemulasaran jenazah sebetulnya tak memakan waktu lama, hanya sekitar satu sampai dua jam. Proses pemulasaran bisa memakan waktu lebih lama jika pihak keluarga belum menandatangani formulir atau surat keterangan kematian.
"Kalau akhir-akhir ini enggak ada keluarga yang minta tidak pakai protokol covid-19, tidak ada yang keberatan," ujar Putri.
Putri menjelaskan ada tiga sampai empat orang untuk mengurus jenazah Covid-19 mulai dari ruang perawatan hingga saat dibawa ke ambulans.
Jenazah biasanya disemprotkan desinfektan. Jenazah juga akan dibersihkan, khusus untuk muslim jenazah dimandikan sesuai syariat Islam.
Selanjutnya, jenazah dibalut dengan plastik rapat agar tak ada cairan maupun airbone yang berpotensi menularkan Covid-19. Jenazah kemudian dikafankan (untuk muslim) atau dipakaikan pakaian untuk jenazah Protestan, Katolik, Hindu, maupun Buddha. Untuk jenazah muslim petugas pemulasaran yang mensalatkan.
Jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti.Tali kafan jenazah muslim pun tak diikat lantaran peti sudah tak bisa dibuka kembali.
"Yang penting itu, bagaimana caranya supaya jenazah keluar dari rumah sakit, tidak menularkan Covid-19 kepada petugas ambulans dan petugas pemakaman, serta menghormati para mendiang," kata Putri.