LIPUTAN KHUSUS

Kisah-kisah Sunyi Pemakaman Korban Pandemi

Melani Putri | CNN Indonesia
Senin, 01 Feb 2021 12:00 WIB
Beberapa orang harus rela jenazah keluarganya ditangani hingga dimakamkan oleh orang lain, karena meninggal berstatus positif atau suspek Covid-19.
Petugas membawa peti berisi jenazah pasien Covid-19. Ilustrasi (ANTARA FOTO/FB Anggoro)

Arisman dan istrinya panik bukan kepalang. Nomor rumah sakit yang disimpan dalam buku telepon di ponselnya ia hubungi satu persatu. Setelah kurang lebih 30 menit, ambulans datang ke rumahnya di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Tiba di rumah sakit, sang anak langsung masuk UGD. Berdasarkan cerita Arisman, UGD saat itu penuh sesak, beruntung anaknya bisa masuk UGD bangsal khusus anak.

Pihak rumah sakit langsung meminta Arisman, istri, dan anaknya, yang terbaring dengan oksigen serta infus di tangan, untuk tes swab Covid-19. Empat hari kemudian hasil tes keluar. Mereka bertiga dinyatakan positif Covid-19.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arisman diminta untuk menjalani isolasi mandiri selama 14 hari. Ia tak boleh mengunjungi rumah sakit, tempat sang anak dirawat. Meski berat, ia menuruti peraturan tersebut.

"Anak saya masuk RS itu 5 Agustus 2020, 9 Agustus saya pulang untuk isolasi mandiri, 10 Agustus saya ditelepon pihak RS anak saya dalam kondisi kritis, saya langsung ke sana, meski dilarang," ujarnya.

Kedatangan Arisman berujung konflik dengan pihak RS. Ia meminta untuk bertemu sang anak, namun tetap dilarang oleh petugas keamanan. Sang istri saat itu memohon kepada resepsionis agar diizinkan bisa menengok anaknya.

Belum habis emosinya, Arisman diberitahu bahwa anak satu-satunya tersebut telah meninggal dunia.

"Saya disodori surat keterangan kematian, diminta isi, saya enggak bisa dengar apa-apa setelah itu, pikiran saya enggak fokus. Sekitar lima jam saya pegang itu surat di ruangan isolasi, apa harus saya isi, pikir saya saat itu," kata Arisman.

Arisman meminta pihak RS untuk menunggu proses pemulasaran jenazah hingga dirinya dan sang istri negatif Covid-19. Ia yakin, jika diberikan waktu satu minggu, tubuhnya bisa melawan Covid-19 hingga dinyatakan negatif.

"Surat keterangan kematian itu saya pegang, tapi enggak saya tanda tangan, saya mau mengantar anak saya ke pemakaman," ujarnya.

"Saya minta pulpen ke petugas untuk isi form keterangan kematian itu, habis itu rasanya dunia saya gelap," sambungnya.

Arisman dan istrinya harus rela tak mendampingi anaknya, mulai saat dimandikan, dikafankan, hingga dimakamkan. Buah hatinya tersebut dimakamkan di TPU khusus Covid-19, Pondok Ranggon. Ia benar-benar tak melihat anaknya masuk ke pusara.

"Saya di rumah bersama istri, sementara anak kami dimakamkan sendirian," kata Arisman yang terdengar menangis. Ia berat untuk mengulang lagi cerita kelam dalam hidupnya tersebut.

Arisman mengaku baru bisa ikhlas kehilangan putrinya setelah lima bulan berduka. Meski demikian, jika berziarah, ia tetap merasa bersalah karena sang anak harus meninggal dalam usia yang masih belia.

"Dia enggak ada salah apa-apa, semua kesalahan ada di saya sampai dia harus berpulang," ujarnya.

Pemulasaran Jenazah Covid-19

Rumah Sakit berperan besar dalam prosesi pemulasaran jenazah Covid-19. Pemulasaran jenazah mulai pemindahan dari ruang rawat hingga diantarkan oleh ambulans, seluruhnya dilakukan oleh petugas khusus jenazah Covid-19.

Petugas Administrasi Pemulasaran Jenazah RSPI Sulianti Saroso, Sahrul Huda mengatakan bersama rekannya setidaknya melakukan pemulasaran jenazah satu kali sehari. Saat kasus Covid-19 meningkat, bisa dua sampai tiga jenazah dalam sehari.

"Hampir setiap hari ada pemulasaran jenazah (positif Covid-19)," kata Sahrul.

Sahrul bersama rekannya juga mendokumentasikan proses pemulasaran jenazah untuk diberikan kepada pihak keluarga yang meminta. Dokumentasi tersebut bisa berupa foto atau video.

"Kita berikan, kemudian kita hapus, mereka jelas ingin melihat keluarganya untuk yang terakhir," ujarnya.

Sahrul menyebut saat awal pandemi, ada keluarga yang meminta pemakaman secara biasa, tanpa protokol Covid-19. Namun, setelah kasus melonjak, pihak keluarga tak ada lagi meminta pemakaman seperti pada umumnya.

"Setelah ke sini-sini, enggak ada lagi yang keberatan dengan protokol Covid-19," kata Sahrul.

Dokter Spesialis Forensik dan Medikolegal RSUP Persahabatan, Putri Dianita telah berjibaku menangani pemulasaran jenazah Covid-19 sejak awal Maret lalu.

Setiap hari, rata-rata ia melangsungkan satu kali pemulasaran jenazah. Saat kasus Covid-19 meningkat, pemulasaran jenazah bisa terjadi tiga sampai tiga kali sehari.

Putri menyebut pemulasaran jenazah sebetulnya tak memakan waktu lama, hanya sekitar satu sampai dua jam. Proses pemulasaran bisa memakan waktu lebih lama jika pihak keluarga belum menandatangani formulir atau surat keterangan kematian.

"Kalau akhir-akhir ini enggak ada keluarga yang minta tidak pakai protokol covid-19, tidak ada yang keberatan," ujar Putri.

Putri menjelaskan ada tiga sampai empat orang untuk mengurus jenazah Covid-19 mulai dari ruang perawatan hingga saat dibawa ke ambulans.

Jenazah biasanya disemprotkan desinfektan. Jenazah juga akan dibersihkan, khusus untuk muslim jenazah dimandikan sesuai syariat Islam.

Selanjutnya, jenazah dibalut dengan plastik rapat agar tak ada cairan maupun airbone yang berpotensi menularkan Covid-19. Jenazah kemudian dikafankan (untuk muslim) atau dipakaikan pakaian untuk jenazah Protestan, Katolik, Hindu, maupun Buddha. Untuk jenazah muslim petugas pemulasaran yang mensalatkan.

Jenazah kemudian dimasukkan ke dalam peti.Tali kafan jenazah muslim pun tak diikat lantaran peti sudah tak bisa dibuka kembali.

"Yang penting itu, bagaimana caranya supaya jenazah keluar dari rumah sakit, tidak menularkan Covid-19 kepada petugas ambulans dan petugas pemakaman, serta menghormati para mendiang," kata Putri.

(wis/fra)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER