Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyebut Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) guna mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) tak efektif. Pernyataan itu diucapkan Joko Widodo dalam rapat terbatas yang diunggah di YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (31/1).
Jokowi menyebut implementasi PPKM guna membatasi mobilitas masyarakat terlihat lemah dalam praktik di lapangan. Padahal esensinya, kata dia, PPKM bertujuan untuk membatasi kegiatan masyarakat guna mencegah lebih jauh penyebaran Covid-19.
PPKM sendiri sejatinya kebijakan pemerintah pusat, yang tak tersurat di Undang-undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pemerintah--melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN)--mengenalkan istilah PPKM sebagai upaya menekan laju transmisi virus corona di tengah ancaman lonjakan kasus pascalibur panjang natal dan tahun baru 2021 lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi pernyataan terbaru Jokowi soal PPKM tak efektif, Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), Masdalina Pane mengaku tak kaget. Sejak awal, katanya, dia sudah memprediksi strategi penanganan yang dilakukan pemerintah memang telah keliru.
Bukan hanya PPKM, kata dia, termasuk di antaranya PSBB dan sejumlah istilah lain yang digunakan pemerintah selama ini terkait pembatasan aktivitas selama 11 bulan pandemi Covid-19 di Indonesia.
"Banyak istilah yang menurut saya enggak penting, substansinya enggak ada. Sejak awal kita sudah katakan itu tidak efektif. Jadi hasilnya kita lihat hari ini," kata dia lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Senin (1/2).
Masdalina mengatakan pemerintah telah banyak membuang ongkos dan tenaga dengan memberlakukan sejumlah strategi pengendalian mobilitas masyarakat itu. Ia mengkritik di balik gembar-gembor istilah dan ongkos buat kebijakan pembatasan itu, pemerintah lupa untuk menemukan kasus positif sebanyak-banyaknya.
Menurut dia, lonjakan jumlah kasus tak jadi masalah andai diimbangi kemampuan pemerintah menemukan kasus baru sejak dini. Penemuan kasus sejak dini penting agar penanganan dapat segera dilakukan, sebelum pasien mengalami gejala sedang atau berat.
Cara itu berbanding terbalik dengan strategi pemerintah selama ini. Dia mengkritik sikap pemerintah yang selama ini selalu mengaku mampu mengendalikan pandemi hanya karena jumlah kasus lebih rendah dibanding sejumlah negara lain.
Padahal, ujar dia, kondisi itu hanya bom waktu seiring lonjakan kasus positif yang ditemukan terlambat dalam kondisi sedang, berat, hingga kritis. Akibatnya, kasus kritis dan angka kematian Indonesia justru tinggi saat ini.
"Jadi kalau bicara PPKM tidak efektif, iya. Sejak awal sudah kita katakan, kalau mau bicara pengendalian bukan penurunan atau penambahan jumlah kasus. Karena jumlah kasus itu nggak jadi masalah kalau menurut pandangan kami, yang jadi masalah kematian," kata Masdalina.
![]() |
Pendapat serupa Masdalina diungkap Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Dia menilai, baik PPKM maupun PSBB yang selama ini diterapkan pemerintah tak akan berjalan efektif untuk menekan lonjakan kasus Covid-19.
Menurut Dicky, dalam konteks penanggulangan Covid-19, satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan terus meningkatkan 3T: tes, telusur, dan tindaklanjut/perawatan. Menurutnya, Indonesia saat ini mestinya bukan hanya mengejar target minimal yang dipatok WHO sebanyak 1 tes per 1.000 orang per Minggu.
Dengan jumlah kasus, dan total penduduk, Indonesia kata dia mestinya dapat melakukan tes risiko Covid-19 terhadap 200-300 ribu per hari.
"Kalau saya lihat Indonesia harusnya mampu 200-300 ribu sehari ya. Itu minimal. Itu yang harus dicapai untuk mendeteksi lebih banyak kasus," katanya.
Menurut Masdalina, model karantina yang diberlakukan pemerintah selama ini telah keliru. Kata dia, pemerintan mestinya sejak awal dapat memberlakukan karantina bertingkat mulai lingkup paling kecil, rumah tangga, RT, RW, sebelum kemudian memberlakukan karantina wilayah seperti yang selama ini diberlakukan.
Strategi karantina akan meningkat seiring lonjakan kasus dalam satu lingkungan warga, mulai RT dan RW. Namun, kata dia, pemerintah harus dapat memastikan kebutuhan warga yang tengah menjalani karantina dalam rumah tersebut.
"Nah, jika beberapa RT di satu wilayah itu terkena maka RW yang di-lock. Ah itu bertingkat terus. Jangan kemudian kita mengunci satu provinsi DKI Jakarta melalui PPKM, tapi semua orang tidak dikunci. Semua orang bisa bebas. Jadi apa maknanya PPKM?" kata dia.
Sementara Dicky mengatakan pembatasan wilayah hanya bisa dilakukan bila jumlah kasus belum meningkat signifikan. Selain beberapa wilayah di luar Pulau Jawa, ia pesimistis PPKM maupun PSBB dapat menekan lonjakan kasus.
"Jadi PPKM ini hanya bisa efektif ketika situasi belum sebesar ini. Pada awal April lalu saya mengusulkan PSBB komunitas mikro," kata Dicky.
"Kalau saat ini saya tidak akan mengusulkan itu. Kecuali di luar Jawa beberapa daerah bisa. Kalau Jawa sudah tidak bisa efektif. Sehingga bukan masalah PPKM-nya ini, upayanya udah nggak bisa. Bola saljunya udah besar. Kita harus PSBB sesuai regulasi," imbuhnya.
Sebagai informasi, PPKM resmi diberlakukan pemerintah mulai 11 Januari lalu mengganti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Transisi. Berakhir pada 25 Januari, pemerintah kemudian memperpanjang PPKM hingga 8 Februari mendatang.