Jakarta, CNN Indonesia --
Sebelas bulan sudah berlalu pandemi Covid-19 di Indonesia, penularan justru makin berlipat hingga melebihi angka sejuta pasien positif.
Ketika angka akumulatif positif Covid-19 menembus sejuta orang, 26 Januari lalu Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan para menterinya untuk untuk melakukan perubahan strategi dalam penanganan pandemi. Jokowi minta pemerintah serius menerapkan 3T: Tes, Telusur, dan Tindak lanjut/perawatan.
Perihal tes covid-19, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan standar pemeriksaan 1:1.000 penduduk per pekan. Dengan asumsi populasi Indonesia mencapai 270 juta jiwa, sewajarnya 270 ribu orang diperiksa per pekan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merujuk pada data Satgas Covid-19, nyatanya jumlah kumulatif testing selama hitungan 11 bulan pandemi belum mencapai standar WHO. Terhitung sejak kasus pertama 2 Maret 2020-1 Februari 2021, jumlah testing yang dilakukan pemerintah Indonesia berada di 6.190.345 orang.
Padahal bila mengikuti standar WHO, dalam 11 bulan pandemi ini seharusnya jumlah kumulatif tes covid-19 berada di 11.880.000 orang yang diperiksa. Itu berarti tes Covid-19 di Indonesia hanya setengah dari target ambang batas minimal tes oleh WHO. Adapun bila dirinci soal jumlah tes kumulatif, dapat dilihat sepanjang 2020 pemerintah melakukan tes terhadap 4.912.745 orang, sementara sisanya yakni 1.277.600 orang dilakukan sejak awal 2021.
Terkait dengan jumlah pemeriksaan dan penelusuran, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyatakan jumlah ideal deteksi warga terhadap penularan virus corona di Indonesia sewajarnya dilakukan setidaknya pada 200 ribu orang per hari.
Ia mengatakan target pemeriksaan itu telah dihitung dengan mempertimbangkan jumlah penduduk Indonesia dan tingginya angka positivity rate di nusantara yang melebihi ambang batas dari WHO sebesar 5 persen. Diketahui, positivity rate di Indonesia sempat cetak rekor tertinggi pada (31/1) lalu dengan jumlah 36,18 persen.
"Sudah seharusnya testing itu berada di angka 200-300 ribu per hari untuk ukuran Indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 270 juta," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (2/2).
Oleh karena itu, Dicky mengaku melihat strategi yang dilakukan pemerintah soal tes dan telusur risiko Covid-19 ini masih belum ideal. Bukan persoalan kuantitatif saja, ia menilai pendekatan deteksi kasus di Indonesia masih kurang tepat.
Dicky menjelaskan, tes sepatutnya ditargetkan kepada mereka yang kontak erat dan yang menunjukkan gejala Covid-19.
Dengan demikian, atas temuan yang dalam beberapa waktu terakhir mencapai 14 ribu kasus per hari itu, Dicky meminta idealnya dari 1 kasus Covid-19, ada 30 orang kontak erat yang diperiksa.
Selain itu, ada upaya lain lagi soal deteksi Covid-19, yakni penapisan yang dilakukan rutin terhadap warga yang memiliki gejala di fasilitas kesehatan terdekat seperti Puskesmas dan RS darurat.
Dengan demikian, kata Dicky, mereka yang menunjukkan gejala Covid-19 mampu mendapat pengobatan yang memadai sehingga tak perlu dilakukan tes bila mereka pulih atau tidak mengalami perburukan kondisi. Sehingga kapasitas testing yang terbatas mampu dialokasikan terhadap mereka yang menjadi kontak erat.
"Testing yang terbatas di daerah itu diperuntukkan kepada orang yang benar-benar bergejala," tutur Dicky.
"Jadi seperti itu, tidak boleh acak," imbuhnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya... Tracing Ideal: 1 Positif, Minimal 30 Kontak Ditelusuri
Plt Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Hidayat menyatakan pihaknya tetap berpedoman pada ambang batas WHO soal tes covid-19 di Indonesia.
Meskipu demikian, ia mengakui persoalan yang ada saat ini adalah jumlah tes yang dilakukan belum terdistribusi merata ke seluruh pelosok nusantara. Selain itu, sambungnya, jumlah tes masih didominasi tes PCR mandiri dan terpusat di DKI Jakarta.
"Jumlah testing memang sudah banyak, tapi tidak merata di seluruh daerah, terpusat di DKI," kata Budi melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Selasa (2/2).
Budi pun menjelaskan strategi testing yang dilakukan pihaknya saat ini tidak pada basis acak, melainkan berdasarkan kajian epidemiologis yakni tes yang dilakukan terhadap kontak erat pasien Covid-19.
"Jumlah tracing ditingkatkan, satu orang positif minimal 30 kontak, dan tes yang diperbanyak," kata dia.
Perihal 1:30 untuk tracing tersebut, CNNIndonesia.com pun berbincang dengan salah satu penyintas, Ramayanti, mengenai pengalamannya saat tes dan tracing kepada orang-orang terdekatnya. Perempuan yang berdomisili di Jakarta Selatan itu terpapar Covid-19 pada awal Januari lalu.
Ia menceritakan, saat tahu terpapar Covid usai melakukan tes mandiri, Rama melapor ke Puskesmas tempatnya berdomisili. Petugas Puskesmas, kata dia, baru memulai penelusuran kontak saat dia bertanya alur tracing, mengingat ia tinggal dengan keluarga di rumah.
"Ada 9 orang di rumah yang ditracing. Aku bilangnya kontak erat 12 orang, cuman yang tiga orang itu sudah pernah PCR mandiri duluan, jadi nggak ikut dites," kata Rama.
Dia mengaku tes swab terhadap 9 orang kontak erat dengannya itu dilakukan sepekan setelah ia dinyatakan terpapar covid-19. Adapun dirinya menjalani isolasi di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet, sementara anggota keluarganya terpaksa membatasi aktivitas di luar rumah, sebab menunggu pemeriksaan swab yang baru dilakukan sepekan kemudian.
Keluarganya pun melapor ke RT setempat, yang lalu ditindaklanjuti dengan kegiatan penyemprotan disinfektan di sekitar rumahnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pada awal pekan ini mengakui dua strategi utama yang dikerahkan pemerintah untuk menanggulangi Covid yakni 3T dan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) tak maksimal. Ia mengistilahkan 3M Jebol, 3T Runtuh.
Selain dua strategi itu, pemerintah juga melakukan opsi tambahan dengan pembatasan mobilitas warga. Awal 2021, pemerintah memutuskan untuk menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali yang dimulai sejak 11-25 Januari.
Setidaknya, ada 73 daerah kabupaten/kota di 7 Provinsi Jawa-Bali yang memberlakukan pembatasan mobilitas itu. PPKM sebagai terobosan baru dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) itupun diperpanjang menjadi PPKM Jilid II yang berlaku sejak 26 Januari-8 Februari mendatang.
Bila menilik data laporan harian Kementerian Kesehatan yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19. Sepanjang PPKM Jawa Bali Jilid I, kasus covid-19 di Indonesia mengalami rekor tertinggi yakni 14.518 kasus covid-19 tambahan pada (30/1) lalu. Penambahan kasus baru itu menjadi jumlah kasus tertinggi sepanjang pandemi covid-19 yang dilaporkan pertama kali pada 2 Maret 2020 silam.
Sedangkan bila melihat jumlah tes deteksi covid-19 baik menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) atau tes swab, maupun tes cepat molekuler (TCM). Maka dapat dipetakan dalam rentang waktu tiga periode.
Pekan pertama atau 11-17 Januari pemerintah melakukan tes covid-19 terhadap 290.764 orang. Dilanjutkan pekan kedua 18-24 Januari tes dilakukan terhadap 293.532 orang. Dan pekan ketiga atau 25-31 Januari dengan 309.432 orang yang diperiksa.
Sehingga secara keseluruhan atau akumulatif tiga pekan ditambah data terakhir per (1/2) dengan jumlah 31.893 orang. Maka secara keseluruhan jumlah testing dalam masa PPKM ini adalah 925.681 orang.
Bila melihat perkembangan tiga pekan PPKM tersebut maka ambang batas minimal tes dari WHO-- merujuk pada kondisi jumlah penduduk Indonesia--270 ribu orang diperiksa itu itu telah terlampaui.
Namun, jumlah kumulatif testing selama hitungan 11 bulan pandemi belum mencapai standar WHO. Terhitung sejak kasus pertama 2 Maret 2020-1 Februari 2021, jumlah testing yang dilakukan pemerintah Indonesia berada di 6.190.345 orang.
Padahal bila mengikuti standar WHO, maka dalam 11 bulan pandemi ini seharusnya jumlah kumulatif tes covid-19 berada di 11.880.000 orang yang diperiksa. Itu berarti tes covid-19 di Indonesia hanya setengah dari target ambang batas minimal tes oleh WHO.
Adapun bila dirinci soal jumlah tes kumulatif, maka dapat dilihat sepanjang 2020 pemerintah melakukan tes terhadap 4.912.745 orang, sementara sisanya yakni 1.277.600 orang dilakukan sejak 2021.
Itu berarti kurang lebih 1/4 jumlah tes hanya dilakukan dalam masa kurang lebih sebulan saja, sedangkan 3/4 sisanya dilakukan dalam masa 10 bulan pandemi yang melanda Indonesia.