Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan terdapat awan tebal kumulonimbus sebelum dan saat pesawat Sriwijaya Air SJ 182 lepas landas (take off) dari Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten pada 9 Januari 2021.
Namun, menurutnya, awan kumulonimbus itu mulai meluruh seiring dengan intensitas hujan yang berkurang serta ada peningkatan jarak pandang.
"Kondisi cuaca sebelum dan saat take off terdapat awan CB [kumulonimbus] di atas Jakarta," kata Dwikorita dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (3/2).
Dalam rute penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 dari Jakarta menuju Pontianak, dia melanjutkan, juga terdapat awan kumulonimbus yang membentang di atas Jawa bagian barat yang bergerak ke arah tenggara.
Menurutnya, hal ini juga dapat dilihat dari analisa Citra Satelit Himawari yang menunjukkan suhu puncak awan berkisar minus 43 derajat celsius sampai dengan minus 48 derajat celsius.
![]() |
Dwikorita juga menyampaikan bahwa berdasarkan data radiosonde untuk mengetahui kondisi udara atas per 7 sampai 9 Januari 2021, potensi icing berada pada ketinggian 16 ribu hingga 27 ribu kaki.
"Pada ketinggian 11 ribu kaki tidak terdapat potensi icing," katanya.
Pesawat Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di Perairan antara Pulau Laki dan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu pada Sabtu 9 Januari 2021 sekitar pukul 14.40 WIB.
Pesawat jenis Boeing 737-500 itu diperkirakan jatuh setelah empat menit lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta Tangerang, Banten.
Total jumlah penumpang yang berada di pesawat tersebut 62 orang, dengan rincian 56 penumpang dan enam awak pesawat aktif. Rinciannya, 40 penumpang dewasa, tujuh anak-anak, dan tiga bayi.
(mts/pmg)