Sejumlah sekolah negeri mendukung langkah pemerintah mengeluarkan surat keputusan bersama menteri pendidikan dan kebudayaan, menteri agama dan menteri dalam negeri (SKB 3 menteri) yang tidak mengizinkan sekolah mewajibkan atau melarang seragam dengan kekhususan agama.
Namun ada pula sekolah yang menilai langkah memerangi intoleransi tidak cukup hanya dari aturan teknis.
Kepala Sekolah SMA Negeri 19 Garut, Jawa Barat, Gunawan salah satunya. Dia menilai langkah tersebut tepat dilakukan untuk membasmi intoleransi. Meskipun mayoritas siswa di sekolahnya muslim, ia mengaku tak berani membuat aturan mewajibkan pakaian muslim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang harusnya begitu, saya setuju. Karena memang ini sekolah negeri. Kan, berbeda dengan sekolah yang berbasis keagamaan. Sekolah negeri harus menyesuaikan regulasi yang dikeluarkan pemerintah," katanya ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (4/2).
Ia sendiri memahami perkara intoleransi dapat berkembang di kalangan siswa, namun menurutnya sekolah bertugas meluruskan dan memberikan pemahaman kepada siswa tanpa memihak dan mendesak pada keyakinan tertentu.
Gunawan bercerita di sekolah yang hampir sepenuhnya muslim, ia masih kerap menemukan perdebatan. Misalnya, dari siswa yang sesama muslim namun memiliki latar belakang ajaran yang berbeda. Tak jarang mereka adu pendapat mengenai aturan beribadah di kelas.
Namun, sambung dia, sekolah berupaya menengahi melalui guru agama dengan cara menjelaskan lebih dalam ajaran dan nilai agama tanpa menghakimi. Dari situ, siswa diharapkan bisa memilih sesuai keyakinannya.
![]() |
Berbeda halnya dengan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK Negeri 4 Berau, Kalimantan Timur, Syainal. Ia mengajar di sekolah dengan mayoritas siswa beragama Kristen, dan yang Islam termasuk minoritas.
Dengan kondisi tersebut, ia mengaku belum pernah mendapati kasus intoleransi di tempat dia mengajar sekarang atau di sekolah sebelumnya. Keadaan ini juga membuat pihaknya sangat berhati-hati dalam mengatur seragam terkait agama.
Sebisa mungkin, kata dia, sekolah memfasilitasi siswa dari kelompok minoritas. Ia bercerita ada satu siswanya yang beragama Hindu, sementara di sekolah tak ada guru agama tersebut. Dia mengupayakan siswa bisa belajar, meskipun harus menumpang di sekolah lain.
Langkah itu ia lakukan untuk mencontohkan pentingnya bersikap toleran kepada siswa. Namun ia mengatakan upaya ini juga membutuhkan dukungan pemerintah. Dan menurutnya aturan yang bersifat teknis dan menghukum saja tidak cukup.
"Jangan dibuatkan aturan. Bisa dalam konteks itu diberi hal pelajaran, supaya tidak terjadi intoleransi. Dilakukan hal-hal yang bisa mencegah terjadinya intoleransi. Jangan hanya sekadar hukuman," ucap dia.
Sementara di Jakarta, Kepala Sekolah SMA Negeri 111 Jakarta, Ujang Suherman, mengaku tak banyak mendapati kasus intoleransi antaragama. Namun berkaca pada situasi yang berbeda di sejumlah daerah lain, ia memahami pentingnya SKB dibuat.
"Intoleransi itu kecenderungan mayoritas dan minoritas. Harusnya adil. Contoh sederhana, sekolah mayoritas Islam. Kita selalu siapkan tempat ibadah bagi saudara-saudara minoritas. Yang muslim tadarus pagi, mereka (non-muslim) juga ibadah pagi," ucapnya.
Menurutnya, perkara intoleransi tak sepatutnya berkembang di lingkungan sekolah. Karena sekolah sudah diamanatkan untuk melayani setiap agama, terlepas dari kelompok mayoritas dan minoritas.
Ketika ada siswa yang memiliki agama minoritas, kata dia, sekolah akan meminta bantuan dinas pendidikan setempat untuk menyediakan guru agama terkait agar siswa terfasilitasi. Perkara seragam sekolah pun sebisa mungkin tidak berkaitan dengan unsur agama.
(fey/pmg)