Proses hukum terhadap mantan Anggota Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Marco Kusumawijaya diminta disetop karena undang-undang melindungi aktivis lingkungan dari jerat kriminalisasi.
Pernyataan itu diungkap Tim Advokasi Anti-Pulau Palsu (Tapal) merespons laporan yang dilayangkan Masco Afrianto Lumbantobing ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya.
Marco yang merupakan aktivis lingkungan dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS) itu dilaporkan terkait dugaan pencemaran nama dan pengancaman melalui media elektronik dan atau ujaran kebencian berbau SARA oleh Marsco Afrianto Lumbantobing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim advokasi pun menyebut laporan polisi LP/7221/XII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ itu merupakan ancaman kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Langkah hukum itu juga dianggap berpotensi menciptakan iklim ketakutan bagi warga negara yang hendak mengutarakan pendapat. Padahal yang dipermasalahkan Marco menyoal kekhawatirannya terhadap dampak lingkungan.
"Proyek reklamasi ini mengambil pasir laut dari Pulau Bangka Belitung sepanjang 4 kilometer yang menurutnya [Marco] akan berdampak serius pada ekosistem laut di Babel," tulis rilis Tim Advokasi Anti-Pulau Palsu yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (9/2).
Merujuk pada surat perintah penyidikan bernomor SP.Sidik/195/I/RES.2.5./2021/Ditreskrimsus, Marco dimintai keterangan sebagai saksi terkait dugaan pelanggaran pidana Pasal 27 ayat 3 Jo Pasal 45 ayat 3 dan atau Pasal 27 ayat 4 Jo Pasal 45 ayat 4 dan atau Pasal 28 ayat 2 Jo Pasal 45 ayat 2 Pasal 36 UU ITE dan atau Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP.
Saat dikonfirmasi, Kepala Unit V Subdirektorat IV/Tindak Pidana Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Kompol Immanuel P. Lumbantobing membenarkan laporan dan surat pemanggilan terhadap Marco. Hanya saja dia tak membeberkan materi kasus.
Immanuel hanya menyebut kasus tersebut terkait unggahan Marco melalui media sosial. "Tapi bukan di Twitter," kata dia melalui pesan singkat, Selasa (2/2) pekan lalu.
Atas pelaporan tersebut, tim advokasi mengajak publik untuk ikut mendesak Kapolri Listyo Sigit Prabowo agar menghentikan proses pemidanaan tersebut. Menurut tim, perlindungan bagi warga yang menyuarakan isu lingkungan penting diperhatikan.
"Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang. Karena itu aktivis dan setiap orang yang memperjuangkan lingkungan hidup dilindungi undang-undang," kata tim advokasi mengutip UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Selain itu, Pasal 66 pada UU itu pun menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
"Atas dasar itu, sungguh tidak dapat dibenarkan adanya langkah kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan yang mempersoalkan eksploitasi alam yang dapat merusak ekosistem Indonesia."
![]() |
Mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), tim membeberkan sejumlah aktivis lingkungan yang juga menjadi sasaran UU ITE. Beberapa di antaranya adalah Direktur Walhi Sumut Dana, Tarigan yang dilaporkan terkait protes atas dampak proyek PLTA Batang Toru.
Selain itu ada pula ahli kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU), Onrizal dan Muhammad Sandi asal Kalimantan Barat yang disebut dilaporkan oleh pihak perusahaan sawit. Kasus lain menimpa Ketua ForBali I Wayan Gendo yang vokal menyuarakan protes terhadap reklamasi di pulau Bali.
(iam/nma)