Tracer Covid-19 di Indonesia Kurang dari 5.000 Orang
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengetahui bahwa jumlah pihak yang bertugas melakukan tracing covid-19 (tracer) di Indonesia hanya sekitar 5.000 orang.
Ia pun mengaku kaget mengetahui jumlah tersebut, jika dijabarkan lebih rinci, 1.600 lebih tracer yang berada di Jakarta, itu berarti hanya sekitar 3.400 tracer yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Saya kaget waktu dapat laporan jumlah tracer kita tidak sampai 5 ribu seluruh Indonesia dan hampir 1.600 lebih ada di DKI. Jadi sebetulnya memang selama ini kalau dilihat dari jumlah tracer-nya, kita belum melakukan upaya 3T yang serius," kata Muhadjir dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (12/2).
Meski begitu, dia meyakini tingkat penyebaran Covid-19 yang paling tinggi dan lebih banyak terjadi saat ini justru terjadi pada level komunitas termasuk dari lingkungan keluarga di rumah.
"Saya yakin betul kalau 3T bisa kita lakukan sungguh-sungguh dan optimal, kita akan bisa mengatasi Covid-19 ini. Di samping juga tenaga tracer terus kita tingkatkan dan kita kerahkan semaksimal mungkin," kata Muhadjir.
Menanggapi kenyataan tersebut, epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo menilai pemerintah dianggap tidak serius menangani pandemi covid-19.
Windhu mengatakaan angka tracer yang hanya 5.000 itu menyebabkan testing rate di Indonesia hanya sekitar 2,5 persen dari populasi dan rasio lacak isolasi sekitar 1:5.
"Ini persoalan yang sangat serius kalau jumlah tracer kita se-Indonesia cuma 5000-an orang. Aneh banget. Ini menunjukkan bahwa selama ini memang kita tidak serius menangani pandemi, cuma main-main saja," ujar Windhu kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis terpisah.
Menurut dia, testing dan tracing yang lemah berdampak buruk pada penemuan kasus baru. Padahal, ia menilai bahwa pakem pengendalian wabah penyakit menular adalah penemuan kasus baru untuk kemudian dilakukan penanganan.
"Kalau testing dan tracing kita lemah, maka case finding/ detection sangat buruk, sehingga apa yang kita laporkan selama ini hanya puncak dari gunung es. Di bawah permukaan ada 5-10 kali lipat kasus yang belum terdeteksi dan terus menjadi reservoir penularan. Ini bom waktu," ucap dia.
Epidemiolog dari Universitas Griffith, Dicky Budiman, pun mengkritik penanganan pemerintah terkait pelacakan kasus. Menurut dia, pemerintah masih 'buta' akan sumber daya yang dimiliki dalam menghadapi Covid-19.
"Sekali lagi manajemen data, ya. Data itu bukan masalah laporan saja. Tapi juga SDM, fasilitas, ya, harus tahu. Namanya lagi perang melawan Covid-19, kita harus tahu kapasitas, SDM kita, orang, uang, termasuk harus tahu situasi lapangan," imbuh dia.
"Ini sudah satu tahun kita baru menyadari seperti itu," lanjutnya.
Ia berpendapat untuk perkembangan kasus yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, semestinya pelacak yang dibutuhkan harus lebih banyak lagi. Untuk kondisi seperti ini dengan 5.000 pelacak, itu masih sangat jauh.
"Apalagi Indonesia sebelum puncak sudah banyak, ya, yang diperlukan secara teoritis 30/100.000 penduduk. 30 pelacak per 100.000 penduduk. Itu secara teoritis. Artinya, kalau 10 juta penduduknya, ya, 3.000 pelacak, kan," pungkasnya.
(din/sfr)