Menkes Duga Positivity Rate Tinggi Sebab Ada Data Tak Diinput

CNN Indonesia
Rabu, 17 Feb 2021 19:31 WIB
Angka positivity rate tinggi diduga karena ada data testing yang belum diinput, banyak pelaporan laboratorium yang terkendala dan tes yang belum masif.
Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin. (Foto: Biro Setpres/Rusman)
Jakarta, CNN Indonesia --

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin memaparkan beberapa hipotesis penyebab angka positivity rate infeksi virus corona (Covid-19) di Indonesia tinggi.

Bahkan beberapa kali sempat menembus 30 persen dan mencetak rekor pada Selasa (16/2) kemarin dengan 38,34 persen. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kondisi pandemi Covid-19 bisa dikendalikan saat positivity rate di angka 5 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Budi menduga, tingginya angka positivity rate terjadi karena jumlah pemeriksaan warga tidak seluruhnya dilaporkan ke sistem New All Record (NAR) milik Kementerian Kesehatan. Ia mencontohkan, mungkin saja ada warga negatif Covid-19 yang tidak dimasukkan data, padahal sudah menjalani tes.

Dengan begitu, Budi berpendapat positivity rate harian yang diumumkan belum bisa mewakili sepenuhnya kondisi yang benar-benar terjadi.

"Jika data negatif yang tidak dimasukkan karena menurut mereka yang penting melaporkan positif agar bisa diisolasi. Itu mengakibatkan bahwa positivity rate naik. Itu adalah salah satu hipotesa yang kami amati dan akan kami uji," terang Budi dalam konferensi pers yang disiarkan melalui kanal YouTube Kementerian Kesehatan RI, Rabu (17/2).

Selain itu, Budi menduga masih banyak tenaga laboratorium yang terkendala saat melakukan pelaporan data karena user interface alias tampilan situs tidak ramah pengguna dan sulit diakses.

Oleh sebab itu, dalam sepekan ini Budi mengaku pihaknya tengah memperbaiki sistem database pelaporan tes Covid-19 sehingga nantinya seluruh petugas dapat melaporkan data secara riil dan tepat waktu.

"Jadi jangan ditunda terlalu lama. Dengan demikian kita bisa melihat data positivity rate yang sebenarnya, sehingga kita bisa mengambil keputusan kebijakan yang lebih tepat," kata Budi.

Selanjutnya, Mantan Direktur Utama Bank Mandiri tersebut juga menduga bahwa positivity rate yang tinggi terjadi karena jumlah tes dan telusur di Indonesia belum masif. Sehingga dengan hipotesis itu, Budi mengaku bakal menggenjot strategi surveilans, salah satunya dengan menjadikan rapid test antigen sebagai alat tes diagnosis Covid-19.

"Memang kemungkinan yang positif sudah lebih banyak sedangkan testing-nya kita yang kurang, ini juga sedang kita tes," pungkas Budi.

Infografis Beda GeNose, Rapid Antigen dan Swab PCR untuk Tes Covid-19Infografis Beda GeNose, Rapid Antigen dan Swab PCR untuk Tes Covid-19. (CNNIndonesia/Basith Subastian)

Dalam hal ini, positivity rate dihitung dengan cara membagi jumlah temuan kasus positif dengan jumlah pemeriksaan pada orang kemudian dikalikan 100 persen. Berdasarkan acuan WHO angka ideal positivity rate Covid-19 maksimal 5 persen.

Disamping angka positivity rate yang tinggi, pemeriksaan testing justru rendah. Bahkan sepekan terakhir angka testing masih berada di bawah standar minimal WHO. Menurut WHO, testing mingguan semestinya 1/1000 penduduk.

Jika disesuaikan populasi Indonesia 267 juta jiwa, maka diperlukan pemeriksaan PCR Covid-19 minimal kepada 267 ribu orang per minggu dan dalam seharinya testing dilakukan pada sedikitnya 38 ribu orang. Namun sepekan terakhir, yakni 10-16 Februari, pemeriksaan hanya dilakukan terhadap sebanyak 209.779.

(khr/nma)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER