Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) menilai pasal-pasal karet di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan langgeng.
Koalisi beralasan tim pengkaji yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD hanya diisi perwakilan pemerintah. Padahal, kata mereka, pengguna pasal karet UU ITE digunakan orang yang punya kuasa.
Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari LBH Pers, SAFEnet, YLBHI, ICJR, IJRS, ELSAM, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Greenpeace Indonesia, KontraS, Amnesty International Indonesia, PUSKAPA UI, Imparsial, AJI Indonesia, PBHI, Rumah Cemara, Koalisi Perempuan Indonesia, ICW, LeIpP, dan WALHI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka, hampir dapat dipastikan pemillihan Tim Kajian UU ITE tanpa melibatkan unsur-unsur yang independen dikhawatirkan justru akan melanggengkan adanya pasal-pasal karet tersebut," kata salah satu anggota koalisi, Direktur ICJR Erasmus Napitupulu, lewat keterangan tertulis, Rabu (24/2).
Koalisi menduga kajian tim UU ITE bentukan pemerintah akan berat sebelah. Mereka juga khawatir tim yang diisi perwakilan pemerintah justru akan menutupi situasi ketidakadilan yang timbul karena UU ITE selama ini.
Para LSM menyarankan pemerintah melibatkan pihak independen dalam tim kajian UU ITE. Mereka mengusulkan ada perwakilan Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan elemen masyarakat lainnya dalam tim itu.
"Mendorong tim kajian ini untuk melibatkan secara aktif para akademisi, korban, perempuan korban, aktivis, pembela HAM, dan kelompok media dalam kajian pasal-pasal UU ITE," ujar Erasmus.
Koalisi juga menegaskan tim harus mempersiapkan kajian untuk merevisi pasal-pasal karet UU ITE. Mereka menolak ide pemerintah yang sekadar melakukan interpretasi terhadap pasal-pasal itu.
"Koalisi Masyarakat Sipil menolak tegas keberadaan tim yang lebih fokus bekerja untuk merumuskan kriteria implementatif pasal-pasal tertentu UU ITE. Pedoman interpretasi ini tidak akan menjawab akar persoalan dari permasalahan yang dihadapi bangsa ini akibat pasal-pasal karet UU ITE," ucap Erasmus.
Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) membuka peluang revisi UU ITE pada tengah Februari ini dalam Rapim TNI-Polri. Tak lama kemudian, Jokowi juga meminta para pembantunya menyiapkan pedoman interpretasi pasal-pasal UU ITE.
Menindaklanjuti niatan itu, Menko Polhukam Mahfud MD membentuk dua tim kajian UU ITE pada Senin (22/2) lalu. Tim itu terdiri atas pengarah dan pelaksana.
Tim pengarah itu berisi para menteri terkait termasuk Mahfud. Kemudian, tim pelaksana yang dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo.
Tim pelaksana ini terbagi lagi jadi dua sub. Pertama adalah Tim Perumus Kriteria penetapan UU ITE yang dipimpin Staf Ahli Menkominfo Bidang Hukum Henry Subiakto. Tugasnya merumuskan kriteria implementatif atas pasal- pasal tertentu dalam UU ITE yang sering dianggap menimbulkan multitafsir.
Kemudian Tim Telaah Substansi diketuai Dirjen Peraturan perundang-undangan Kemenhukam Widodo Ekatjahjana. Mereka bertugas melakukan telaah atas pasal-pasal yang dianggap multitafsir untuk menentukan perlu atau tidaknya dilakukan revisi.
Terpisah, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan Sejahtera (DPP PKS), Mardani Ali Sera, menyatakan penerbitan Surat Edaran Kapolri terkait pedoman penanganan kasus UU ITE belum menyelesaikan akar masalah beleid tersebut. Ia pun mendesak agar revisi UU ITE segera dilakukan. Menurutnya, UU ITE tidak boleh lagi digunakan untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok tertentu.
"Segera revisi UU ITE merupakan jawabannya. UU ITE jangan lagi dijadikan sebagai alat efektif untuk melakukan kriminalisasi. Tidak hanya soal hukum, UU tersebut juga telah memberikan dampak sosial dan politik di tengah masyarakat," kata Mardani," kata Mardani kepada CNNIndonesia.com, Rabu (24/2).
Ia menyatakan pengawasan dan komitmen politik harus dijunjung tinggi dalam implementasi SE Kapolri tersebut. Selain itu, menurut Mardani, evaluasi secara berkala juga harus dilakukan karena penanganan kasus UU ITE membutuhkan kemampuan membedakan kritik dan ujaran kebencian.
"Belum lagi tafsiran polisi atas berbagai kasus yang erat dengan UU ITE tidak dirincikan, sehingga dalam penerapannya subjektif dari kepolisian. Jangan sampai hal tersebut menimbulkan masalah baru," katanya.
"Kuncinya ada di level memutuskan, apakah dijadikan perkara atau tidak," imbuh dia.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menerbitkan surat edaran nomor SE/2/II/2021 pada 19 Februari 2021 lalu. Dalam edaran ini, Kapolri Listyo menekankan agar kasus-kasus UU ITE dalam klasifikasi tertentu dapat mengedepankan ruang mediasi antarpihak yang bersengketa.