Rencana pembukaan sekolah untuk kegiatan belajar tatap muka mulai Juli dinilai kurang berbasis data. Pasalnya, vaksinasi Covid-19 masih jauh dari jangkauan 70 persen populasi serta penerapan protokol kesehatan (prokes) belum juga disiplin.
Presiden RI Joko Widodo diketahui menginginkan sekolah bisa dibuka Juli 2021 usai 5 juta guru dan tenaga kependidikan rampung menerima vaksin. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan protokol kesehatan tetap harus dilaksanakan jika sekolah dibuka.
Kemendikbud menjelaskan sekolah bakal dibuka secara bertahap pada Tahun Ajaran 2021/2022. Sementara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menilai sekolah bisa dibuka selama sarana dan prasarana penunjang protokol kesehatan dipersiapkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo menilai pembukaan sekolah pada Juli mendatang masih berisiko tinggi.
"Ya high risk, risiko tinggi dong. Masa kita mau mengobarkan anak-anak?" cetusnya ketika ditanya CNNIndonesia.com mengenai keamanan wacana pemerintah membuka sekolah, Jumat (26/2).
Alasannya, kata dia, vaksinasi yang belum mencapai target minimal kekebalan komunitas atau herd immunity dan kelalaian dalam penerapan prokes di masyarakat.
Pertama, dalam hal herd immunity, ia meminta Pemerintah menanti vaksinasi harus menyasar 70 persen dari jumlah populasi atau sekitar 188 juta penduduk.
Sementara hingga Sabtu (25/2), jumlah penduduk yang sudah divaksin baru 1.616.165 orang atau bertambah 32.584 penduduk dari hari sebelumnya.
Windhu menduga paling cepat herd immunity bisa dicapai Indonesia dalam waktu 1,5 tahun dari sekarang.
"Enggak mungkin kalau kita seperti ini [progres vaksinasiya], tentu tidak akan aman bulan Juli. 5 juta guru sudah divaksin, tapi kan belum herd immunity. Jadi di tingkat masyarakat [penyebaran Virus Corona] masih tinggi banget," risaunya.
Kedua, kata Windu, dalam hal penegakan prokes. Ia menyebut sebenarnya pembukaan sekolah bisa saja dilakukan tanpa menunggu herd immunity. dengan syarat prokes diterapkan dengan sangat ketat.
Masalahnya, kata dia, ini pun belum dilakukan di tingkat masyarakat dan belum pula dicontohkan dengan baik oleh pemerintah.
Dia menyoroti beberapa kasus pejabat yang justru memicu kerumunan. Selain itu, pelaksanaan tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) yang masih lemah dinilai membuat risiko penularan Covid-19 makin tinggi.
Hal ini diamini oleh Ahmad Ridhwan, salah satu guru di SMP Negeri 3 Satap Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, di Sulawesi Utara, yang sudah menggelar pertemuan tatap muka, sejak tengah tahun lalu.
Dia menyebut penerapan protokol kesehatan selama belajar tatap muka di sekolahnya masih banyak kendala.
"Karena [kami berada] di pulau, jadi merasa aman. Social distancing-nya kurang disiplin. Untuk pemakaian masker juga terbatas, masih menggunakan yang scuba, yang tidak sesuai standar," cerita pria yang akrab disapa Ridhwan itu kepada CNNIndonesia.com.
Ridhwan juga mengatakan sekolahnya bahkan tak memiliki fasilitas sanitasi yang memadai. Sekolahnya berlokasi di atas bukit sehingga sering kekurangan air bersih. Jika ingin cuci tangan, siswa harus jalan jauh ke lokasi sumber air.
Sampai saat ini, pihak sekolah juga belum punya alat pelindung diri (APD) lengkap kalau tiba-tiba mendapati kasus terduga Covid-19. Mereka hanya mengandalkan masker, hand sanitizer, pengukur suhu, dan satu ruangan UKS untuk isolasi.
![]() |
Dengan protokol kesehatan terbatas dan seadanya, Ridhwan mensyukuri belum pernah ada kasus yang didapati di lingkungan sekolah maupun di perkampungan sekitar.
Namun begitu, ia mengatakan pihak sekolah telah berupaya meniadakan kegiatan yang berkumpul, seperti olahraga bersama, waktu istirahat dan upacara bendera, untuk meminimalisir kerumunan.
Windu pemerintah juga menyebut bahwa Pemerintah belum memiliki informasi terkait vaksinasi untuk anak usia di bawah 18 tahun.
Ia mengatakan pada dasarnya kerentanan anak terhadap bahaya Covid-19 memang lebih rendah karena imunitas yang kuat. Namun, ujarnya, bukan berarti anak terlepas dari bahaya Corona, khususnya bagi mereka yang memiliki penyakit komorbid.
Menurutnya, seorang anak yang pernah terpapar dan sembuh pun kondisi kesehatannya tidak akan pulih sepenuhnya. Pada beberapa kasus, organ paru-paru penyintas Covid-19 tidak bekerja semaksimal sebelumnya.
"Tentu kita tidak ingin satu anak pun yang sampai kemudian jatuh sakit dan meninggal karena kita gegabah, walaupun jumlahnya hanya sedikit," lanjut dia.
Terpisah, Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Syahrizal Syarif menilai pembukaan sekolah sebenarnya bisa aman dilakukan jika protokol kesehatan diterapkan. Pasalnya, anak memiliki risiko Covid-19 lebih rendah.
"Kecil sekali [kasus anak] yang kemudian punya gejala yang serius. Jadi dari misalnya 10 juta kasus atau 5 juta, itu paling kasusnya cuma ada satu, dua, dan itu biasanya terkait ada penyakit lain sehingga ada laporan kematian di usia 12 tahun misalnya," jelasnya.
Syahrizal juga menampik asumsi yang menyatakan bahwa anak lebih gampang menularkan Covid-19 ketika kasusnya tak terdeteksi karena tak ada gejala.
"Pada dasarnya, mereka yang tidak bergejala itu kecil sekali kemungkinannya untuk jadi penular. Tetap saja yang potensial menular mereka yang punya gejala ringan dan sedang," jelasnya.
Dengan pertimbangan itu, ia pun setuju jika vaksinasi diprioritaskan kepada guru dan tenaga kependidikan yang lebih rentan sebelum sekolah dibuka. Namun dia menekankan, pemerintah harus memastikan target vaksinasi tercapai dan protokol kesehatan diterapkan dengan ketat.
(fey/arh)