Jurus Belajar Nadiem 'Lumpuh' di Kaki Gunung Tambora
Kesejukan di Desa Oi Bura, Kabupaten Bima di Nusa Tenggara Barat bisa jadi tak membuat Sugeng Purnomo berleha-leha. Ia tetap berjibaku dengan lumpur, menerobos hutan rimba, menerawang jalan di desa yang menjadi permukiman terakhir sebelum memasuki area pendakian Gunung Tambora tersebut.
Sugeng adalah guru di SD Negeri Tambora. Medan berliku rela ia terjang demi keberlangsungan pendidikan anak-anak pedalaman.
SD ini tak seperti sekolah negeri pada umumnya yang dilengkapi lapangan dan perpustakaan. Hanya ada tiga ruangan untuk kelas satu hingga enam. Satu guru bisa mengajar dua tingkat kelas di waktu yang bersamaan. Hampir seluruh guru berstatus honorer.
Semenjak Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menetapkan Kabupaten Bima berstatus zona merah corona, kegiatan belajar mengajar di sekolah disetop total. Begitupun di SD Negeri Tambora.
Di kota, siswa dan guru masih bisa berkomunikasi melalui layar televisi dan jaringan internet. Namun tidak di Oi Bura.
Belajar daring tak pernah jadi pilihan di sana. Internet sulit masuk desa. Jangankan mengandalkan platform konferensi video seperti Zoom, banyak siswa belum bisa mengoperasikan telepon genggam.
Kawasan sekolah bahkan belum dialiri listrik. Warga setempat masih memanfaatkan genset. Mayoritas penduduk, termasuk orang tua siswa, bekerja sebagai petani.
"Di sini, mereka (siswa) masih agak asing melihat handphone. Sama sekali (tak punya ponsel), orang tuanya juga enggak punya," kata Sugeng kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (16/2).
Khawatir Corona
Sugeng terpaksa mempertahankan kegiatan belajar tatap muka selama pandemi. Bedanya kini dilakukan di luar gedung sekolah. Jumlah siswa dalam sekali pertemuan pun dipangkas. Hal ini untuk menekan penyebaran virus corona.
Meski jauh dari kota, para guru tak serta merta mengabaikan protokol kesehatan. Kekhawatiran akan terserang Covid-19 tetap menghantui.
Hal ini karena sekolah mereka dekat dengan area pendakian yang sering dikunjungi para wisatawan. Karena itu, Sugeng bersikeras melarang siswa datang ke sekolah, sebagaimana anjuran pemerintah.
Demi memastikan kegiatan belajar tetap berjalan, ia bersama enam guru lainnya bergantian mendatangi tiga kampung. Diputuskan titik terdekat yang menjadi tempat bertemu guru dan murid setiap hari sekolah.
Perjalanan menuju lokasi itu pun tak mudah. Rumah Sugeng berada 11 kilometer dari sekolah. Sementara kampung paling jauh yang harus ia datangi berjarak 3 kilometer lebih jauh dari sekolah. Jalanan menuju kampung itu pun rusak parah.
"Jalanannya, masya allah, rusak parah, licin. Untuk mengakses ke sana itu luar biasa sekali jalanannya," kata pria 32 tahun itu.
Tak jarang beberapa siswa memilih absen. Ia bisa memaklumi. Banyak siswa tinggal di ladang atau perkebunan ketika musim panen tiba. Ketika orang tua sibuk memanen, tak ada yang bisa mengantar siswa ke lokasi belajar.
Kondisi ini membuat capaian belajar siswa mandek. Terlebih pandemi juga memangkas jam belajar karena waktu bertemu dipersingkat demi alasan kesehatan. Sugeng kepikiran. Ia takut kemampuan siswanya menurun setelah setahun kegiatan belajar terhambat.
Belakangan Kemendikbud memangkas 70 persen materi pelajaran selama penerapan kurikulum darurat. Materi yang wajib disampaikan hanya yang esensial. Hal ini untuk meringankan beban belajar mengajar di tengah pandemi.
Selama menjalani pembelajaran jarak jauh (PJJ), Sugeng mengaku sekolahnya tidak pernah mendapat dukungan dari pemerintah, baik berupa dana bantuan operasional sekolah (BOS), tambahan guna menunjang infrastruktur pembelajaran, maupun ongkos kunjungan guru ke kampung-kampung.
Pemerintah setempat hanya memberikan modul belajar berisi konten yang secara praktik tak bisa diterapkan tanpa internet. Sementara bantuan subsidi kuota, bagi mereka yang berada di pedalaman tidak berarti apa-apa.
Dirundung Dilema
Perkara lain soal finansial. Ini jadi dilema terbesar Sugeng selama 13 tahun mengabdi sebagai guru di sekolah itu. Dia bukan pegawai negeri sipil (PNS) yang mendapat gaji di atas upah minimum regional (UMR) tiap bulan.
Awal-awal mengajar sebagai guru honorer, ia hanya diupah Rp100 ribu per bulan. Kini, gajinya naik menjadi Rp500 ribu per bulan yang dibayarkan dua bulan sekali.
Upah itu jelas tak cukup untuk menghidupi kedua anak, istri dan orang tuanya yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab Sugeng.
Tinggal di daerah terpencil bukan berarti biaya hidup lebih murah. Sebulan pengeluaran keluarganya bisa mencapai Rp2 juta. Itu pun sudah berhemat sedemikian rupa.
Sebelum pandemi, dia masih bisa menyambi jadi pemandu para pendaki gunung sepulang mengajar. Lumayan, sekali naik-turun gunung Sugeng mengantongi Rp200 ribu. Namun sejak corona mewabah, ladang penghasilan sampingan itu lumpuh.
Beberapa bulan di awal pandemi, Sugeng kelabakan. Dengan gaji seadanya, ia sempat putus asa jadi guru. Pikirannya dirundung dilema.
"Bagaimana saya sebagai kepala keluarga dapat memenuhi segala kebutuhan yang ada di rumah. Di sisi lain, saya lihat ada anak-anak, siswa saya, yang menaruh harapan besar terhadap saya untuk mengajar," curahnya.
Sugeng tak pernah bercita-cita jadi seorang guru sebelumnya. Kuliahnya pun di bidang hukum. Kegiatan mengajar awalnya hanya sebagai aktivitas sampingan belaka.
Berbekal gelar sarjana dan usia yang terbilang muda, Sugeng bisa saja merantau untuk memperoleh penghasilan yang layak. Tapi ia tak sampai hati meninggalkan sekolah.
Sebagai warga yang dilahirkan di Desa Oi Bura, Sugeng terpanggil menjalankan roda pendidikan bagi anak-anak di sana. Hatinya tergerak tiap kali melihat siswa yang punya semangat besar untuk belajar.
Dengan kondisi sekolah di tengah hutan, dia ragu ada guru dari luar daerah betah mengajar di situ.
"Kalau bukan kami yang lahir dan tinggal di sini, kegiatan pembelajaran di sekolah ini mungkin tidak jalan," ucap dia.
Sugeng pun mencurahkan dilema itu kepada kepala sekolah. Ternyata kendala serupa juga dialami guru lain. Pihak sekolah akhirnya mengizinkan guru hanya mengajar tiga kali seminggu agar bisa memanfaatkan waktu mencari kerja di tempat lain.
Sugeng mengisi sisa hari dengan bekerja di perkebunan warga. Dari bersih-bersih kebun, ia mengantongi Rp150 ribu. Kondisi ini mesti ia jalani agar tetap bisa mengajar sekaligus memenuhi kebutuhan keluarga.
SD Negeri Tambora merupakan satu dari 148.052 sekolah yang masih melakukan pembelajaran dari rumah setelah setahun pandemi melanda Indonesia. Mengutip data sekolah.data.kemdikbud.go.id, hanya 29.693 sekolah yang sudah melakukan pembelajaran tatap muka atas izin pemerintah daerah dan komite sekolah.
Sepanjang pandemi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim telah mengeluarkan beberapa kebijakan guna mempermudah pembelajaran jarak jauh. Baik dengan membentuk kurikulum darurat, memberikan subsidi kuota internet, mengerahkan dana BOS tambahan untuk sekolah terdampak pandemi, hingga menyebarkan konten belajar lewat TVRI.
Namun kebijakan ini belum bisa menyentuh sekolah di pedalaman. Hingga setahun pandemi. Guru-guru di pelosok lebih membutuhkan bantuan finansial untuk ongkos kunjungan belajar.
"Saya berharap pemerintah bisa memperhatikan secara khusus kepada kami yang berada di daerah terpencil," ujar Sugeng penuh harap.
Akhir tahun lalu, Kemendikbud dan Kementerian Keuangan pernah mengeluarkan bantuan subsidi upah (BSU) bagi guru honorer. Besarannya Rp1,8 juta. Itu pun mesti dipotong pajak.
Namun bantuan itu hanya diberikan sekali. Sementara perjuangan guru dilakukan sepanjang hari. Selama wabah virus corona belum terkendali, pembelajaran jarak jauh bakal berlanjut di masa pandemi.
(pmg)