Kepada tim kajian UU ITE bentukan Menko Polhukam, Prita mengatakan alih-alih langsung masuk ke ranah hukum, edukasi bermedia sosial justru penting dilakukan agar tidak terjebak dalam kasus hukum.
"Mungkin kita sebelum masuk ke dalam pembuatan undang-undang ITE ini akan direvisi atau pun dicabut, lebih berpikirnya ke arah edukasinya dulu," kata dia.
Edukasi tersebut, sambungnya, bisa diberikan kepada generasi muda. Dengan menitikberatkan pada bagaimana tata krama bermedia sosial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena saya lihat banyak juga kasus-kasus yang masih anak-anak muda dengan tanpa berpikir dua kali langsung memberikan posting di media sosial dan itu mereka tidak banyak berpikir bahwa akan ada akibatnya di undang-undang ITE ini," kata Prita.
Aktivis peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, yang pernah menjadi korban jeratan 'pasal karet' UU ITE berdasarkan laporan tipe A alias dari internal kepolisian mengatakan hukum yang dibentuk mestinya menciptakan ketertiban, bukan memunculkan chaos di kalangan masyarakat seperti yang kerap terjadi akibat UU ITE ini.
"Saya dikata-katain, difitnah. Dinarasikan sebagai mata-mata asing suatu negara. Kalau saya bereaksi dengan melaporkan banyak orang-orang, ujungnya satu negara dipenjara kan?," ujar Ravio kepada Tim UU ITE dalam rekaman video yang diterima CNNIndonesia.com.
Patra menceritakan bagaimana pengalamannya berhadapan dengan pihak kepolisian saat dilaporkan terkait dengan UU ITE pada April 2020 lalu. Bagi dia, UU ITE adalah bentuk pengekangan kebebasan sipil.
Ravio Patra sendiri kala itu mengaku menjadi korban, karena dugaan jeratan UU ITE yang dikenakan pada dirinya justru keluar dari akun WhatAapp pada ponsel yang tengah diretas orang tak bertanggung jawab.
Dia sudah melaporkan dugaan peretasan yang membuat dirinya harus terjerat hukum itu tak lama kemudian pada 2020 lalu.
Menko Polhukam Mahfud MD yang ditunjuk langsung Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) untuk membenahi undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE) tersebut justru mengaku tak melihat masalah dari setiap beleid di aturan itu.
"Saya sendiri melihat kalau undang-undangnya sih tidak bermasalah sih, apa coba yang bermasalah," kata pria yang juga Ketua Tim Pengarah Kajian UU ITE seperti dikutip dari akun YouTube Whytv official, Rabu (3/3).
Ketika membaca tiap beleid di UU ITE, Mahfud belum menemukan kesalahan besar dari undang-undang ini yang bisa menjerat masyarakat terkait transaksi elektronik.
Menurut Mahfud jika selama ini UU ITE dianggap memakan banyak korban, itu karena tafsir orangnya saja--baik pelapor serta hakim yang memang menangani kasus-kasus berhubungan dengan beleid tersebut.
"Nah, Kalau persoalan ada kesalahan penerapan itu sebenarnya tidak, bukan karena undang-undangnya juga. Karena misal di Aceh orang di hukum dengan pasal ini, tapi di tempat lain kan tidak. Artinya kesalahan pada orang dan pada hakimnya juga," kata mantan hakim konstitusi tersebut.
Atas dasar itulah di sisi lain, Mahfud mengakui penafsiran UU ITE harus diperjelas kalimatnya meskipun putusan pengadilan tetap tergantung pada keyakinan hakim.
![]() |
Sementara itu, Ketua Tim Kajian Revisi UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan akan terus menampung masukan terkait revisi UU ITE ini. Dia menerangkan dalam pertemuan memang para narasumber ada yang pro dan kontra, tetapi didapat kebanyakan dari mereka menyorot pasal 27 dan pasal 28 UU ITE.
Seperti yang diungkap Baiq Nuril, Sugeng juga mengakui para narasumber baik dari kalangan pelapor maupun terlapor sama-sama berharap revisi UU ITE tak hanya sekadar wacana.
"Ada masukan terkait dengan revisi beberapa pasal. Pasal yang paling disorot adalah pasal 27 dan pasal 28. Menurut mereka, di antaranya perlu mendapat kejelasan penormaannya dan implementasinya," kata Sugeng.
(tst/kid)