Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, Feri Amsari melihat aparat penegak hukum terlalu fokus menghukum pidana para koruptor. Menurutnya, sanksi pidana bukan satu-satunya cara untuk memberikan efek jera.
Feri menyebut para penegak hukum harus membuat alternatif memberi sanksi sosial untuk terdakwa korupsi. Sejumlah negara, lanjutnya, sudah menerapkan sanksi sosial kepada para koruptor dan Indonesia semestinya bisa meniru.
Ia memberi contoh sanksi sosial yang bisa diberikan, seperti misalnya dalam kasus korupsi dana pendidika. Para terdakwa dalam kasus tersebut dapat dikenakan hukuman tambahan berupa bekerja di lingkungan sekolah atau kampus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, kata Feri, pelaku korupsi dana bantuan sosial juga bisa dijatuhi sanksi tambahan untuk menjadi relawan. Menurutnya, hakim setidaknya sudah menerapkan sanksi tambahan berupa pencabutan hak politik bagi politisi atau pejabat publik.
"Begitu mereka diberi sanksi mereka kehilangan itu, kehilangan hak memilih dan dipilih misalnya dalam kurun waktu 10 tahun, itu sudah membuat mereka luar biasa jera karena mereka enggak bisa ngapa-ngapain," ujarnya.
Feri menyebut pihak swasta yang terlibat korupsi juga bisa dikenakan sanksi sosial. Seperti larangan berbisnis kembali usai bebas dari penjara atau menjadi pekerja sosial.
"Itu akan jauh memberikan efek jera dari hanya sekedar pidana orang, korupsi ratusan miliar keluar dari penjara dia masih tetap kaya," katanya.
Lebih lanjut, Feri mengatakan vonis ringan juga masih menjadi momok tersendiri dalam penegakan hukum kasus korupsi. Sering kali sanksi pidana bagi kasus kriminal biasa justru jauh lebih tinggi dibanding vonis kasus korupsi.
Menurutnya, ketidakadilan vonisi ini akhirnya membuat publik menjadi kurang percaya terhadap proses hukum kasus korupsi, sekalipun kasus yang ditangani penegak hukum merugikan negara hingga triliunan rupiah.
"Makanya rasa apatis itu muncul karena hukum belum mampu membuktikan sesuatu kepada publik soal keadilan," ujarnya.
Di sisi lain, Feri menuturkan ketidakpedulian publik terhadap kasus korupsi triliunan rupiah ini juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan tingkat pemahaman tentang korupsi. Sebagian besar masyarakat, juga mementingkan bagaimana mereka bertahan hidup dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Bagi publik yang penting ngebul dulu lah dapurnya. Padahal relasi dapur mereka yang ngebul itu dengan pemberantasan korupsi sangat dekat, jika kemudian koruptor bisa digagalkan setiap aksinya di tanah air, bukan tidak mungkin banyak hak-hak publik yang bisa terpenuhi," kata Feri.
Pemberantasan korupsi di Indonesia tengah dalam sorotan setelah Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2020 hanya 37 poin atau merosot tiga poin dari tahun sebelumnya.
Catatan itu membuat posisi Indonesia berada di papan tengah. Indonesia bertengger di peringkat 102 dari 180 negara yang dilibatkan survei Transparency International Indonesia (TII).
Di level ASEAN, Indonesia berada di peringkat lima. Berada di bawah Singapura yang memperoleh skor IPK 85, Brunei Darussalam (60), Malaysia (51) dan Timor Leste (40).