Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly tak mengesahkan hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dari ajang KLB Demokrat itu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih aklamasi sebagai ketua umum.
"Saya minta dengan hormat kepada Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk tidak memberikan legitimasi kepada KLB Ilegal," kata AHY dalam jumpa pers, Jumat (5/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
AHY menegaskan tak ada dualisme kepemimpinan dalam tubuh Demokrat. Putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu memastikan bahwa dirinya sebagai ketua umum Demokrat yang sah.
"Saya AHY adalah ketua umum Demokrat yang sah dan legitimate," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, AHY menyebut KLB Demokrat yang digagas para pendiri dan mantan kader ilegal dan juga inkonstitusional. Selain itu, kata dia, KLB tidak sesuai dengan AD/ART yang telah diakui pemerintah.
"Baru saja hari ini, ada Kongres Luas Biasa secara ilegal, inkonstitusional, mengatasnamakan Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara. Apa yang mereka lakukan tentu didasari niat yang buruk juga dilakukan dengan cara-cara yang buruk," kata AHY.
sejak beberapa waktu belakangan, Demokrat mengalami gejolak politik. Pihak DPP menuding ada sejumlah kader dan pejabat pemerintahan yang berencana mengkudeta kepemimpinan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) lewat Kongres Luar Biasa (KLB).
Pihak DPP kemudian memecat sejumlah kader yang dianggap berencana melakukan kudeta itu. Para kader yang dipecat itu akhirnya resmi menggelar KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dalam KLB yang dimotori oleh para mantan kader itu kemudian secara aklamasi menetapkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai ketua umum baru Demokrat pada periode 2021-2025.
Diketahui, Menkumham Yasonna Laoly memiliki kewenangan untuk mengesahkan kepengurusan atau DPP partai politik lewat Surat Keputusan (SK) Menkumham.
Berdasarkan UU Parpol, 'surat sakti' tersebut mestinya baru terbit setelah konflik internal parpol diselesaikan lebih dulu.
(dhf/fra)