Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan jumlah perkawinan anak mengalami kenaikan di 18 provinsi. Bintang berharap pemerintah daerah setempat dapat menekan angka perkawinan anak.
"Terdapat kenaikan angka perkawinan anak di 18 provinsi. Kenaikan angka perkawinan di 18 provinsi ini perlu menjadi perhatian pemerintah daerah untuk lebih berkomitmen dalam menurunkan angka perkawinan anak," kata Bintang dalam seminar virtual, Kamis (18/3).
Bintang tidak merinci provinsi mana saja yang mengalami peningkatan kasus perkawinan anak. Namun, menurutnya, secara nasional angka perkawinan anak menurun sejak 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga 2019 kemarin, tercatat angka perkawinan anak mencapai 10,82 persen dari total perkawinan yang ada.
"Pada 2018, angka nasional perkawinan anak sebesar 11,21 persen dan turun menjadi 10,82 persen di 2019. Pada 2019 menunjukkan 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka rata-rata nasional," ujarnya.
Lebih lanjut, Bintang menekankan bahwa angka perkawinan anak yang tinggi akan menggagalkan banyak program yang dicanangkan oleh pemerintah. Baik itu indeks pembangunan manusia maupun tujuan pembangunan berkelanjutan serta akan berdampak pada bonus demografi.
Ia mengatakan bahwa pemerintah, dalam Rencana Program Jangka Menengah Nasional atau RPJMN, sudah menargetkan angka perkawinan anak berada di bawah 10 persen dari total perkawinan yang ada. Target itu dicanangkan untuk 2024.
"RPJMN secara tegas menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,21 persen pada tahun 2018 menjadi 8,74 persen pada akhir tahun 2024," tuturnya.
"Dengan demikian upaya pencegahan perkawinan anak yang kita lakukan hingga 2024 harus lebih terstruktur, holistik, integratif, agar target RPJMN dapat kita capai," kata Bintang menambahkan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Miftahul Achyar dalam acara yang sama mendesak agar pemerintah mencari pokok persoalan ihwal penyebab masih tingginya angka perkawinan anak.
Dia curiga ada faktor konten visual yang seharusnya hanya untuk orang dewasa tetapi juga dilihat oleh anak-anak.
"Ini kewajiban kita bersama, pemerintah, untuk mengamati apa penyebab mereka ada peningkatan. Mungkin ada terlalu banyak tontonan-tontonan yang mestinya dilihat usia-usia dewasa, tapi sudah dinikmati oleh anak-anak," ujar Achyar.
(dmi/bmw)