Kronologi 'Penahanan' Pendamping Hukum Warga Pancoran
Dua pendamping hukum warga Pancoran, Jakarta Selatan, korban penggusuran diperiksa secara mendadak oleh penyidik Polres Metro Jakarta Selatan dan dikekang kebebasannya selama delapan jam saat mengantarkan surat keberatan klien mereka.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana menjelaskan kedua pendamping hukum itu adalah Safaraldy D. Widodo dan Dzuhrian Ananda Putra.
Safaraldy dan Dzuhrian, kata dia, semula datang untuk mengantarkan surat jawaban terkait panggilan pemeriksaan oleh tim penyidik Polres Jaksel terhadap sembilan warga korban penggusuran di Gang Buntu II, Pancoran, Jakarta Selatan, yang dinilai tidak sah.
"Pada Rabu, 24 Maret 2021, atas permintaan warga, keduanya mengantarkan surat jawaban atas panggilan yang tidak sah terhadap sembilan orang warga warga Pancoran," kata Arif dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (25/3).
Diketahui, pada Selasa (23/4), 31 orang warga Gang Buntu II kata Arif menerima panggilan yang dilayangkan Polres Metro Jakarta Selatan atas dugaan tindak pidana penyerobotan lahan dari pengaduan PT. Pertamina Training & Consulting (PTC), selaku pihak yang bersengketa.
Namun, tim pendamping hukum warga menilai panggilan tersebut tidak sah secara hukum karena tidak prosedur menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Surat jawaban atas pemanggilan tersebut lalu diantarkan Safaraldy dan Dzuhrian pada Rabu (24/3) sekitar pukul 16.00 WIB.
Menurut Arif, tim penyidik yang menerima surat jawaban tersebut tak terima. Kedua pendamping hukum mengantarkan surat itu pun langsung diperiksa sebagai saksi hingga delapan jam.
"Penyidik kemudian melakukan pemeriksaan terhadap keduanya dengan status sebagai saksi tindak pidana selama 8 (delapan) jam atas Pasal 167 (tentang masuk rumah tanpa izin pemilik) dan Pasal 385 (tentang pengelapan harta milik pihak lain) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan disertai berbagai intimidasi," tutur dia.
Arif mengaku pihaknya mulai mengetahui dua pendamping itu sekitar pukul 20.00 WIB. Ia kemudian mengirim orang untuk memberi bantuan hukum terhadap Safaraldy dan Dzuhrian.
Pada pukul 22.00 WIB, tim hukum mendapati keduanya tengah diperiksa oleh penyidik pada Unit-II Harta-Benda (Harda) Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan.
Namun, aparat mengusir tim hukum dan melarang mereka memberi pendampingan pada proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Safaraldy dan Dzuhrian. Kata Arif, penyidik juga melarang keduanya untuk menandatangani surat kuasa kepada tim hukum.
Safaraldy dan Dzuhrian baru dapat ditemui dan dilepaskan setelah pemeriksaan berakhir pada pukul 00.49 WIB, Kamis, 25 Maret 2021.
LBH Jakarta menilai penyidik Satreskrim Polres Metro Jakarta Selatan telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) berupa penangkapan dan penyitaan secara sewenang-wenang dalam kasus penahanan terhadap Safaraldy dan Dzuhrian.
Menurut dia, surat penolakan warga yang diantar Safaraldy dan Dzuhrian juga bukan tindak pidana, dan justru dilindungi UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
Arif menyebut, Polres Metro Jakarta Selatan juga telah melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan penghalang-halangan akses pendampingan hukum terhadap utusan yang berstatus sebagai saksi.
"Dalam melakukan pemeriksaan terhadap saksi, tersangka, atau terperiksa, petugas dilarang menghalang-halangi Penasihat Hukum untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi/ tersangka yang diperiksa," kata dia.
Sementara itu, Kepala Satuan Reskrim Polres Jakarta Selatan AKBP Jimmy Christian membantah pihaknya telah menahan dua pendamping hukum warga Pancoran. Ia mengatakan, sejak Rabu (24/3) tak ada penahanan apapun di Polresta Jaksel.
"Dari hari kemarin sampai dengan hari ini tidak ada penahanan di Polres Jaksel. Silakan dikonfirmasi langsung ke LBH," kata Jimmy kepada CNNIndonesia.com.
Diketahui, penangkapan, berdasarkan Pasal 17 KUHAP, hanya bisa dilakukan terhadap pihak yang diduga kuat melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Dalam hal pemeriksaan sebagai saksi, menurut Pasal 112 KUHAP, penyidik harus menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas, dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan jadwal pemeriksaannya.
Sementara, berdasarkan Pasal 1 angka 21 KUHAP, penahanan hanya dapat dilakukan pada tersangka di tingkat penyidikan selama 20 hari dan dapat diperpanjang hingga 40 hari.
(thr/arh)