Sejumlah tetangga ZA memberi kesaksian bahwa pelaku penyerangan Mabes Polri itu mengalami perubahan kepribadian semenjak kuliah.
Diberitakan sebelumnya, ZA (25) melakukan penembakan di Mabes Polri, Rabu (31/3). Polisi kemudian mengidentifikasinya sebagai mahasiswa yang drop out di semester V.
Richard Tagori Pangaribuan, warga RT 3, RW 10, Kelurahan Kelapa Dua Wetan, Ciracas, Jakarta Timur, salah satu tetangga ZA mengungkapkan kepribadian ZA saat kecil hingga SMA masih tampak biasa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Biasa saja [saat SMP-SMA]," kata Richard, saat ditemui di sekitar rumah pelaku, Kamis (1/4), "Akhir-akhir ini mungkin aja dia terpengaruh, setelah kuliah kali kalau enggak salah".
Sejak itu, kata Richard, ZA menjadi lebih tertutup. Ia pun mengaku jarang berinteraksi dengannya. "Paling cuma sapa biasa aja kalo ketemu di jalan," katanya.
Kasdi, Ketua RT 3 RW 10 Kelurahan Kelapa Dua Wetan mengaku jarang pernah melihat ZA. Ia hanya mengetahuinya sebagai sosok yang pendiam.
"Saya aja enggak pernah liat, liat aja baru di itu foto saat meninggalnya," ujar Kasdi.
Berdasarkan informasi yang Kasdi terima, ZA biasa membantu keluarganya membersihkan rumah.
"Biasa bantuin, nyapu, ngepel. Biasa aja kalau di dalam rumah," tuturnya.
Warga yang lain, S. Werman, juga mengenal ZA sebagai orang yang tertutup dan tak pernah melayani pembeli di warung keluarganya. Padahal, warung tersebut menyatu dengan rumah mereka.
"Kalo ada orang beli dia nggak pernah ngelayani," kata Werman.
Sementara itu, warga justru mengenal keluarga ZA sebagai orang-orang yang ramah. Kasdi mengatakan ibu ZA aktif di organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Posyandu. Sementara, ayahnya, biasa bergaul dengan warga dan beribadah di musala.
"Dia (ZA) aja kayaknya, [anggota keluarga] yang lain ngobrol biasa, kayak orang hidup biasa," tutur Kasdi.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, rumah ZA terlihat sepi dan tidak ada penjagaan aparat. Warung keluarganya juga tutup. Beberapa warga tampak melintasi gang depan rumahnya yang ditunggui belasan wartawan.
Ayah ZA sempat keluar dan mengobrol dengan seseorang pada pukul 10.15 WIB. Namun, ia enggan memberikan pernyataan kepada wartawan. Ayah ZA hanya mengucapkan kalimat Istirja'.
"Innalillahi," kata ayah ZA sebelum kembali masuk ke rumahnya.
![]() |
Sebelumnya, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Hamli mengatakan hampir semua perguruan tinggi negeri (PTN) sudah terpapar paham radikalisme.
"PTN itu menurut saya sudah hampir kena semua (paham radikalisme), dari Jakarta ke Jawa Timur itu sudah hampir kena semua, tapi tebal-tipisnya bervariasi," kata dia, Jumat (25/5/2019).
Awalnya, kata dia, penyebaran radikalisme di lembaga pendidikan mulanya dilakukan di lingkungan pesantren. Saat ini, kampus negeri maupun swasta menjadi sasaran empuk bagi penyebar radikalisme.
"PTN dan PTS yang banyak kena itu di fakultas eksakta dan kedokteran," ungkap Hamli.
Senada, Cendekiawan muslim Azyumardi Azra, yang juga mantan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menyebut kampus sebagai tempat bersarang paham radikal.
"Sarang terorisme itu justru di perguruan tinggi umum. Kalau kita lihat gejalanya memang menganut paham radikalisme," ucap dia.
Direktur Riset Setara Institute Halili pun menyatakan tulisan atau ceramah Felix Siauw lebih mendapatkan tempat di forum-forum tertutup kelompok Islamis di 10 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dibandingkan ceramahnya ahli tafsir Alquran sekaligus mantan Menteri Agama Muhammad Quraish Shihab.
Berdasarkan hasil riset Setara Institute terkait peta ancaman atas negara Pancasila di PTN pada Februari hingga April 2019, forum-forum tertutup kelompok Islamis di kampus lebih memilih ceramah Felix Siauq, Salim A Fillah, dan Adi Hidayat dibandingkan Quraish, Musthafa Bisri (Gus Mus), atau M Zainul Majdi (TGB).
(iam/arh)