Eks Napiter Nilai Densus Mulai Sulit Hadapi Pola Baru Teroris

CNN Indonesia
Kamis, 08 Apr 2021 09:01 WIB
Eks napiter mengatakan perubahan pola pelaku teror terkait kemajuan teknologi digital secara tak langsung turut mempersulit aparat dalam mendeteksi jaringan.
Kepolisian memperketat pengamanan usai serangan terduga teroris di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (31/3/2021). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Eks narapidana terorisme, Mukhtar Khairi mengatakan Densus 88 Antiteror Polri saat ini mulai kesulitan mendeteksi jejaring teror di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir memiliki pola baru.

Ia mengaku hal tersebut didapatkannya dari keluhan salah satu anggota Densus yang berbicara dengannya. Khairi mengklaim anggota Densus itu mengatakan saat ini aksi dan jejaring terorisme telah memasuki era baru yakni era digital.

"Kemarin saya juga ngobrol dengan anggota Densus 88. Dia bilang seperti itu, 'kita kesulitan karena eranya udah beda'," ujar Khairi dalam diskusi daring, Rabu (7/4).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Khairi mengatakan umumnya para pelaku teror itu tak terikat atau saling berkoordinasi meski memiliki haluan ideologi yang sama. Umumnya, kata dia, mereka juga belajar ideologi radikal dari media sosial.

Dia tak menampik bahwa dua aksi teror yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir di Makassar dan Jakarta memang sulit dideteksi. Dua aksi teror yang melibatkan kelomlok milenial itu, menurut Khairi, adalah generasi baru dalam jejaring teror di Indonesia.

"Sekarang jamannya digital, dan susah kita untuk mengontrol. Bahkan aksi-aksi yang kemarin hampir tidak terdeteksi. Karena mereka tidak koordinasi dengan kelompok," kata rekan satu sel pentolan Jamaah Ansharut Daulah, Aman Abdurrahman itu.

Menurut Khairi, kondisi itu berbeda dengan jejaring kelompok teror yang sempat bikin gaduh awal 2000an di bawah kendali Jemaah Islamiyah (JI). Saat ini, kata Khoiri mereka tak saling berkoordinasi dalam melakukan aksinya, sehingga kemudian kerap pula disebut pelaku sendiri (lone wolf) oleh penegak hukum.

Para pelaku teror di era kini, kata dia, pun umumnya juga belajar dari media sosial sebelum berimprovisasi dan melakukan aksinya secara mandiri.

"Kita koordinasi, berkelompok. Kalau sekarang, teroris itu dia cukup mempelajari dari media sosial kemudian berimprovisasi dan inovasi kemudian mereka melalukan amaliah secara sendiri-sendiri," katanya.

Sebelumnya, Juru Bicara Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto mengakui bahwa ada perubahan pola dari pelaku teror dalam melakukan rekrutmen, komunikasi antarsesama, bahkan ketika melakukan aksi. Saat ini manuver rekrutmen yang dilakukan JAD berbasis daring, sehingga dikhawatirkan mampu menggaet lebih banyak sasaran dari sebelum-sebelumnya.

Dalam program Mata Najwa yang disiarkan Trans7, Rabu (31/1) malam, Deputi VII BIN itu mengatakan rekrutmen daring yang memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi tersebut lebih mudah dilakukan karena minim interaksi secara langsung. Meskipun demikian, Wawan memastikan BIN akan terus berupaya mengendus jaringan mereka melalui patroli siber 24 jam.

Wawan sekaligus mengingatkan, yang menjadi sasaran empuk dari petinggi JAD ini adalah rekrutmen anak-anak muda berusia 17-24 tahun. Selain itu, Wawan menerangkan kerjasama lintas sektor untuk memberikan pembinaan dan upaya deradikalisasi bagi mereka yang telah bebas dari hukuman penjara. Sebab, pemikiran-pemikiran radikal itu dikhawatirkan masih ada dan terus berkembang.

(thr/kid)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER