Meski begitu, Timbul mengklaim saat ini Pemerintah sedang mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di beberapa daerah.
Untuk kasus pelanggaran HAM berat Talangsari, Provinsi Lampung, menurut dia, hampir bahkan bisa dikatakan telah diselesaikan. Saat ini, pemerintah pusat sedang melakukan koordinasi dengan Pemerintah Provinsi Aceh.
"Kami sedang berkomunikasi dengan Gubernur Aceh, bupati di Aceh, termasuk melibatkan pihak-pihak lain," kata Timbul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk kasus pelanggaran HAM masa lalu, kata Timbul, negara tidak akan meminta maaf, tetapi Pemerintah menyesali atas peristiwa yang terjadi dan menjamin hal serupa tidak kembali terulang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Hari HAM Internasional 2020 menyatakan akan mengambil "langkah-langkah yang diperlukan dan diakui oleh komunitas internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia".
Sebagai perwujudannya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD berencana membentuk kembali Komisi Pengungkapan Kebenaran sebagai salah satu proses yang ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat tanpa mengabaikan mekanisme lainnya, baik yudisial maupun nonyudisial.
KontraS menilai wacana rekonsiliasi dalam Ranperpres UKP-PPHB itu merupakan bentuk pengampunan alias impunitas terhadap para pelanggar HAM berat masa lalu, yang sebagiannya masih menjabat.
"Wacana rekonsiliasi tak lain tak bukan hanya dimaknai sebagai bentuk lain 'cuci tangan' yang dilakukan oleh beberapa terduga pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang saat ini masih menduduki jabatan publik yang strategis," dikutip dari siaran pers KontraS, dari laman resminya.
"Selain itu, wacana rekonsiliasi versi pemerintah juga berpotensi melanggengkan praktek impunitas karena tidak mengedepankan aspek akuntabilitas dan juga partisipasi keluarga korban," lanjut KontraS.
Secara keseluruhan, Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tentang Unit Kerja Presiden Untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Melalui Mekanisme Nonyudisial (RPerpres UKP-PPHB) ini kurang berprespektif pada korban dan mencoreng rasa kemanusiaan dan keadilan.
"Korban memiliki hak atas kebenaran. Mereka berhak untuk tahu mengenai kebenaran di balik pelanggaran HAM yang sudah terjadi. Tetapi, kenyataannya, pemerintah lebih mengutamakan rekonsiliasi tanpa dibarengi dengan pengungkapan kebenaran," ujar KontraS.
Diketahui, sejumlah pejabat dan politikus di masa Presiden Jokowi dikaitkan oleh para aktivis HAM dengan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Misalnya, Wiranto dalam kasus Timor-Timur, Prabowo Subianto dalam kasus penculikan aktivis di era 1998, hingga Hendropriyono dalam kasus Talangsari.
Mereka sudah membantah keterlibatan dalam kasus-kasus tersebut. Sejauh ini pun, belum ada putusan pengadilan yang membenarkan keterlibatan mereka.
(tst/ryn/antara/arh)