Capaian aksi strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) terkait perizinan dan tata niaga untuk kebijakan satu peta masih rendah dibandingkan kebijakan yang lain.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo menyebut capaian implementasi terkait perizinan dan tata niaga baru mencapai 68,57 persen.
Diketahui, kebijakan satu peta dibuat oleh pemerintahan Joko Widodo untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih terkait lahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satu permasalahan yang sekarang belum mencapai poin hasil ini, ini adalah masalah implementasi kebijakan satu peta, baru mencapai 68,57 persen," ucap Tjahjo dalam eluncuran Stranas PK 2021-2022, Selasa (13/4).
Tjahjo mengatakan kebijakan tersebut belum maksimal karena ada beberapa kendala. Masalah tersebut berkaitan dengan data surat keputusan, lampiran peta, peta digital dan tidak terdokumentasikannya dengan baik izin yang terbit sebelum 2013.
Selain itu, ia juga menyebut di lapangan, banyak terjadi perizinan yang sudah tidak sesuai, seperti izin Usaha Pertambangan (IUP) lebih luas dari izin lokasi (ILOK), perusahaan tidak operasional, dan tidak adanya titik koordinat.
"Saya kira perusahaan tidak menyampaikan data yang diperlukan, sehingga banyak terjadi perizinan yang sudah tidak sesuai," ujarnya.
Meski begitu, Tjahjo menyebut secara keseluruhan capaian Stranas PK cukup baik. Terkait Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan bantuan sosial, capaiannya 89,99 persen.
Kemudian, berkaitan dengan integrasi dan sinkronisasi data impor pangan strategis mencapai 93,23 persen.
Selanjutnya terkait manajemen penyuapan capaiannya 96,02 persen. "Kemudian, sistem manajemen anti penyuapan, walaupun di sana-sini masih terdapat lobang-lobang, tapi alhamdulilah," ucapnya.
Sementara itu, untuk database kawasan hutan mencapai 91,20 persen serta penguatan pemanfaatan basis data mencapai 93,54 persen.
Tjahjo juga melihat ada permasalahan terkait basis data dan pelaporan online. Dia mengatakan, banyak korporasi yang tidak melaporkan ke portal yang sudah disediakan.
Ia menilai ketidakadaannya sanksi menjadi salah satu faktor yang mendorong masalah tersebut.
"Karena tidak ada mekanisme sanksi yang diatur oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Saya kira ini yang menjadi titik poin permasalahan," jelasnya.
(yla/bmw)