Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan pengambilan sampel darah subjek relawan vaksin Nusantara yang dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto bukan sebuah penelitian uji klinis fase II.
Proses pengambilan sampel darah itu hanya merupakan pelayanan dari rumah sakit bagi warga yang berniat melakukan serangkaian vaksinasi. Sementara uji klinis fase II hanya bisa dilakukan bila tim peneliti mendapat restu melalui Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Yang di RSPAD bukan uji klinis fase II, hanya sebagai pelayanan di rumah sakit saja. RSPAD buka pelayanan vaksin Nusantara, siapa mau disuntik datang atas kemauan sendiri," kata Pelaksana tugas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Muhammad Karyana saat ditemui CNNIndonesia.com di kantor Balitbangkes, Jakarta Pusat, Kamis (15/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karyana mengatakan sebagai tim peneliti Balitbangkes Kemenkes harus patuh pada regulator dalam hal ini BPOM. Bila BPOM tak memberikan izin, maka mereka tidak akan terlibat dalam penelitian dan uji klinis ini.
Karyana tak lantas membenarkan proses penelitian yang dilakukan di RSPAD Gatot Soebroto itu. Sebab menurutnya kegiatan itu perlu mengantongi izin. Namun ia meminta publik untuk mengonfirmasi langsung kepada tim peneliti RSPAD ihwal itu.
"Harusnya tetap pakai izin. Nah, di sini kan kami tidak terlibat di situ," kata dia.
Meski begitu, Karyana juga menyayangkan keputusan BPOM yang merekomendasikan agar vaksin Nusantara memulai penelitian dari uji pre klinis alias tidak diberikan izin PPUK uji klinis fase II.
Sebab, nantinya jika vaksin ini berhasil maka vaksin Nusantara diharapkan dapat memenuhi jumlah stok vaksin di Indonesia. Dengan kendala ketersediaan jumlah vaksin, maka ia menilai Indonesia perlu mengembangkan vaksin dalam negeri yang cepat.
"Kalau kami lihat potensi ini tetap ada sel dendritik ini, hanya saja kami baru punya sedikit data sehingga kalau kami terlalu banyak mengklaim, orang belum percaya," ujarnya.
Hingga kini BPOM belum memberikan PPUK uji klinis II sebab dalam hasil inspeksi proses uji klinis I vaksin Nusantara tidak memenuhi kaidah klinis dalam proses penelitian dan pengembangan vaksin.
Selain itu, BPOM menilai vaksin Nusantara tidak memenuhi standar Good Manufacture Practice (GMP). Sebab ditemukan alat ukur yang tidak terkalibrasi, serta data aspek keamanan dan imunogenitas yang tidak konsisten.
Kepala RSPAD Gatot Soebroto, Letnan Jenderal Albertus Budi Sulistya menjelaskan alasan pihaknya tetap melanjutkan penelitian vaksin Nusantara.
Budi mengatakan penelitian vaksin Nusantara ini sama halnya seperti penelitian yang dilakukan mahasiswa S3, sehingga bisa tetap dilaksanakan asal memiliki izin etik dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK).
CNNIndonesia.com telah berupaya menghubungi Peneliti Utama Vaksin Nusantara di RSPAD Jonny melalui panggilan telepon dan pesan tertulis. Namun hingga berita ini ditulis, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan.
Vaksin Nusantara kembali menjadi perbincangan publik setelah sejumlah pihak menjalani pengambilan sampel darah. Metode ini merupakan pelaksanaan vaksinasi yang menggunakan pendekatan sel dendritik.
Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie mengaku bahwa dirinya yang pertama kali rampung menjalani pengambilan sampel darah itu.
Sementara mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Gatot Nurmantyo juga ikut melakukan hal serupa. Dia datang ke RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat pada Rabu (14/4).
Gatot menambahkan pengambilan sampel darah ini juga diikuti oleh sejumlah anggota DPR lintas fraksi. Di antaranya yakni Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Komisi IX DPR Fraksi Golkar, Melki Laka Lena.
Teranyar, mantan menteri kesehatan Siti Fadilah Supari juga ikut menjadi relawan vaksin besutan Terawan ini. Ia mengapresiasi vaksin dendritik ini, sebab menurutnya dalam penelitian vaksin itu, peneliti berpikir logis dan inovatif. Namun, kata dia, di dalam ilmu pengetahuan, logis saja tidak cukup dan harus bisa dibuktikan.
(khr/pmg)