NU-Muhammadiyah Diminta Dukung Hapus Hukuman Mati di RI
Guru besar studi Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra mendorong NU dan Muhammadiyah ikut mendukung gerakan menghapus hukuman mati di Indonesia.
Pernyataan itu disampaikan Azra dalam peluncuran laporan tahunan global Amnesty Internasional terkait hukuman mati dan eksekusi 2020. Dalam laporannya, Amnesty mencatat tren kenaikan vonis hukuman mati di Indonesia dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
Pada 2020, jumlah vonis mati di Indonesia naik 46 persen sebanyak 117 vonis dibanding 2019 sebanyak 80 vonis dan 2018 sebanyak 48 vonis. Jumlah vonis mati pada 2020 menjadi rekor selama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
"Saya kira Amnesty internasional perlu melakukan lobi-lobi kepada ormas Islam garis tengah ini, supaya ikut dalam kampanye untuk penghapusan hukuman mati ini," kata Azyumardi, Rabu (21/4).
Azyumardi meyakini NU-Muhammadiyah memiliki pandangan yang sama menolak penerapan hukuman mati di Indonesia. Apalagi, katanya, sejak dahulu ulama Indonesia tak pernah menerapkan hukuman mati.
Menurutnya, wacana penerapan hukuman mati mulai berkembang di Indonesia terutama pascareformasi dimotori sejumlah ormas ekstrem, seperti HTI dan FPI.
Ormas-ormas tersebut, kata Azyumardi tanpa data meyakini bahwa penerapan hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan, seperti korupsi.
"Ya itu tuntutan dari kelompok-kelompok garis keras seperti misalnya, HTI yg sudah terlarang, bahkan juga FPI yang tidak lagi dikasih izin itu juga mengimbau bagi penerapan itu tadi, NKRI bersyariah," ujarnya.
Azyumardi menyebut penerapan hukuman mati yang diadopsi dari hukum kisas dalam Islam tak pernah diterapkan di Indonesia, bahkan sejak era kesultanan di Nusantara.
Oleh para ulama, hukum kisas hanya diambil tujuan dari hukuman tersebut diterapkan, di mana hukum pidana diberlakukan untuk mencegah seseorang mengulangi kejahatannya.
"Kira-kira begitu. Jadi itu yang diterima oleh para ulama mainstream yang ada di ormas mainstream seperti NU-Muhammadiyah dan sebagainya," kata Azyumardi.
Faktor Politik dan Realigi
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddy Hiraej menilai penerapan hukuman mati di Indonesia bukan saja persoalan pidana. Menurutnya, hukuman mati yang diatur dalam pasal 10 KUHP itu bercampur antara padangan politik dan realigi.
Mengutip salah satu survey, Eddy misalnya menyebut bahwa 80 persen responden menyatakan setuju dengan penerapan hukuman mati. Namun, jumlah itu berkurang saat responden ditanya pendapat mereka jika hukuman mati diterapkan kepada pelaku terorisme.
"Pertanyaan pada akhir kuisioner itu bunyinya apakah anda setuju teroris itu dijatuhi pidana mati? Yang setuju hanya 30 persen. Artinya ini bercampur antara persoalan politik dan realigi," ujarnya.
Eddy mengamini hasil survey sebuah lembaga lainnya yang menyatakan 90 persen masyarakat setuju penerapan hukuman mati di Indonesia. Survey itu menunjukkan mayoritas masyarakat masih meyakini hukum pidana sebagai sarana balas dendam.
Meski begitu, menurut Eddy, penerapan hukuman mati di Indonesia saat ini merupakan jalan tengah dari kelompok abolisionis (menolak) dan kelompok retensionis (mendukung).
Menurutnya, hukuman mati di Indonesia bukan sebagai pidana pokok melainkan pidana khusus.
Dalam sistem itu, terpidana yang telah divonis mati harus menjalani masa percobaan terlebih dahulu selama 10 tahun. Selama percobaan, hukuman mati bisa dihilangkan jika terpidana menunjukkan perilaku baik.
"Itu adalah formula yang paling maksimal yang bisa dicapai untuk mengakomodasi perdebatan paham abolisionis dan retensionis ketika berbicara konteks hukum pidana perihal pidana mati," ujarnya.
(thr/fra)