Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membatalkan rencana perpanjangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara PAM Jaya dan PT Aetra Air Jakarta. Sebelumnya DKI berencana memperpanjang durasi kontrak untuk 25 tahun ke depan antara PAM Jaya dan Aetra.
Penanggung Jawab Wilayah DKI Jakarta pada Direktorat Korsup Wilayah II KPK Hendra Teja mengusulkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk mencabut izin prinsip persetujuan perpanjangan kerja sama tersebut.
"Jadi, kami sarankan Pemprov DKI Jakarta menunggu PKS ini selesai pada Februari 2023, kemudian menyerahkan pengelolaannya kepada PAM Jaya," kata Hendra dalam keterangan tertulisnya, Jumat (23/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, ketika kontrak kerja sama itu rampung, maka Pemprov harus mencabut SK Gubernur Nomor 25 Tahun 2003 yang membatasi tugas PAM Jaya hanya sebagai pengawas mitra swasta. Menurut Hendra, aturan ini tak sesuai dengan Perda DKI Nomor 13 tahun 1992,.
Selain itu, lanjut Hendra, KPK mendorong pembenahan di sektor hilir terkait penyaluran air minum ke penduduk untuk mengurangi kerugian yang diderita PAM Jaya atas pengelolaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang sebelumnya dikelola oleh Aetra.
Direktur Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK Aminudin mengatakan pihaknya sampai saat ini masih memantau rencana perpanjangan kontrak pengelolaan air minum antara PAM Jaya dan Aetra untuk mencegah potensi kecurangan atau fraud.
"Kami berkepentingan agar dalam perikatan perjanjian itu tidak ada potensi korupsi. Kami ingin perikatan perjanjian ini semata-mata untuk kepentingan bisnis dan kemaslahatan bersama," kata Aminudin.
"Jangan sampai ada keuangan negara atau daerah yang dirugikan," imbuhnya.
![]() |
KPK berharap tidak ada pihak yang berusaha mengambil keuntungan dari momen perpanjangan kontrak kerja sama antara PAM Jaya dan Aetra tersebut.
Menurut Aminudin, sejak 1 Februari 1998, sesuai Perjanjian Kerja Sama antara PAM Jaya dengan dua mitra swasta menyebutkan bahwa pelayanan operasional air minum di wilayah Jakarta dilaksanakan secara penuh oleh dua mitra swasta tersebut. Sementara PAM Jaya hanya berfungsi sebagai pengawas.
Selanjutnya, berdasarkan masukan Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta, KPK menemukan potensi kecurangan atau fraud yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian pada PAM Jaya.
Beberapa potensi kecurangan itu adalah ruang lingkup pekerjaan dalam kontrak berubah lebih dari 50 persen. KPK juga mendapatkan data bahwa mitra swasta terkait relatif tak berkinerja baik di sisi hilir, yaitu terjadinya tingkat kebocoran pipa yang berimbas pada cakupan layanan ke penduduk menjadi rendah.
Menurut KPK, metode take or pay dengan kondisi hilir yang bermasalah berpotensi merugikan PAM Jaya karena berkewajiban membayar 100 persen produksi air dari mitra swasta. Padahal, penyaluran air efektif hanya 57,46 persen.
Sekda Provinsi DKI Jakarta Marullah Matali menyampaikan, pihaknya berkeinginan aman dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada serta secara bersamaan bisa memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat DKI Jakarta.
"Ini adalah untuk memberikan layanan kepada masyarakat. Suatu niat yang baik harus dilaksanakan dengan baik pula. Saya memahami rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh KPK dan BPKP bertujuan untuk menyediakan layanan terbaik kepada masyarakat. Masukan-masukan ini memperkaya kami apakah akan meneruskan (kontrak kerja sama) atau tidak," ujar Marullah.
Jakarta, sambung Marullah, membutuhkan 1,8 juta sumur resapan, yang sampai sekarang baru terbangun sekitar 10 persen. Bila bisa terbangun sebanyak 1,8 juta sumur serapan, cadangan air di Jakarta akan dapat terpenuhi.
"Secara singkat, saya ingin sampaikan, PAM Jaya sudah memenuhi capaian cakupan penyaluran air sebesar 64 persen. Sementara, target kita adalah 80 persen. Bila ini tidak tercapai, bisa ada krisis air. Semoga nantinya ada pemecahan atau solusi yang baik untuk PAM Jaya," pungkas Marullah.
(dmi/gil)