Tepatkah Melabeli Separatis Papua sebagai Teroris?
Label 'teroris' bagi Kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua dinilai memenuhi ketentuan dalam perundangan. Namun, Pemerintah diminta tetap hadir di tengah warga Bumi Cendrawasih lewat pendekatan kesejahteraan dan pembangunan yang tak hanya dalam bentuk infrastruktur.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Daerah (Kabinda) Papua Brigadir Jenderal I Gusti Putu Danny Nugraha Karya tewas dalam penyerangan yang dilakukan oleh KKB Lekagak Telenggen, di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua, Minggu (25/4).
Insiden ini memancing amarah TNI dan Badan Intelijen Negara. Lembaga terakhir pun bergegas menyebut KKB sebagai kelompok separatis teroris (KST).
Presiden Jokowi pun meminta Polri dan TNI menangkap pelaku. Dia menegaskan bahwa tidak ada tempat bagi kelompok kriminal di Indonesia, tak terkecuali Papua.
Lihat juga:Pemerintah Resmi Tetapkan KKB Papua Teroris |
Ketua MPR Bambang Soesatyo bahkan menyarankan agar pemerintah mengesampingkan terlebih dahulu HAM dalam menumpas KKB.
Pemerintah, melalui Menko Polhukam Mahfud MD, pada Kamis (29/4), pun secara resmi menyatakan bahwa "organisasi dan orang-orang di Papua yang melakukan kekerasan masif dikategorikan sebagai teroris".
Ia mendasarkannya kepada UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul menilai label teroris bagi KKB tersebut sudah memenuhi syarat yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Bahwa, banyak warga sipil yang jadi korban.
Definisi terorisme itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 angka 2 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal,"
"Dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan."
"Itu yang menjadi sasarannya itu yang non-kombatan, yang sipil dan orang yang enggak bersalah. Nah itu ciri-cirinya [teroris]. Karena sipil itulah yang lemah," kata Chudry kepada CNNIndonesia.com, Kamis (29/4) malam.
Ia menyebut gerakan OPM dan KKB sama halnya dengan gerakan Pembebasan Macan Tamil Eelam, yang hendak mendirikan Negara Tamil di Utara dan Timur Sri Lanka. Sama halnya dengan organisasi separatis lain di beberapa negara latin Amerika, Spanyol, maupun Irlandia.
Organisasi-organisasi itu, kata dia, layak dilabeli organisasi teroris kendati bertujuan hendak mendirikan negara baru.
"Kata kuncinya itu dia dengan menggunakan kekuatan militer, menyerang warga sipil untuk menimbulkan rasa ketakutan dengan tujuan mendelegitimasi pemerintah," jelas Chudry.
Terkait dengan perbedaan perlakuan terhadap kelompok separatis di Aceh, dia menyebut ada kegagalan Pemerintah dalam menggunakan pendekatan lunak untuk menuntaskan konflik di Papua. Ini berbeda dengan kondisi konflik di Aceh yang bisa berakhir dengan perdamaian.
"Kok pemerintah ada perbedaan treatment antara Aceh dengan ini? Sebenarnya, karena itu trauma waktu Orde Baru. Tadi saya katakan, dicoba solusinya dengan pendekatan kesejahteraan. Bentuknya adalah UU Otsus," katanya.
Senada, pengamat militer dan intelijen dari UI Stanislaus Riyanta menyebut kategorisasi teroris itu layak diberikan pada KKB lantaran hendak memisahkan diri dari Indonesia dengan cara-cara teroris.
Selama April, sedikitnya empat orang tewas ditembak oleh KKB, dan tiga di antaranya merupakan warga sipil, yakni guru, siswa hingga tukang ojek. KKB menurut polisi juga membakar sebuah rumah anggota dewan dan tiga sekolah, awal April. Hal itu dilengkapi dengan penembakan terhadap Kepala BIN Daerah Papua.