Sementara itu, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengatakan program guru penggerak Nadiem kini menemui banyak kendala teknis akibat infrastruktur di lapangan yang tak menunjang.
Program guru penggerak kali pertama disampaikan Nadiem awal Juli 2020 lalu. Lewat program itu, Nadiem ingin menciptakan para sosok pemimpin di sekolah.
Ia menjanjikan karier guru yang mengikuti program tersebut bakal dipermudah dan diprioritaskan menjadi jajaran petinggi di sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Satriwan, sejak dibuka pada Juli, program tersebut kini menemui sejumlah kendala teknis. Menurut dia, program tersebut belum bisa mengakomodir guru-guru di pelosok yang mengalami keterbatasan dalam segi internet atau infrastruktur lain.
"Bahkan masih ada kawan guru kita di Papua, pedalaman yang belum memiliki laptop gitu ya. Ini kan, artinya pelatihan guru penggerak sangat bias kota gitu ya," kata Satriwan, Senin (3/5).
Selain itu, kata Satriwan, program ini menemui banyak kendala karena sepenuhnya dilakukan secara daring selama pandemi. Kondisi itu menyebabkan banyak para peserta di daerah dihadapkan dengan persoalan infrastruktur, jika sewaktu-waktu kehilangan mati lampu atau internet.
Menurutnya, persoalan itu tak bisa dilepaskan dari kondisi banyak guru atau peserta di daerah atau pelosok. Karena bergantung pada infrastruktur, guru penggerak juga terkesan eksklusif sebab tak semua daerah memiliki infrastruktur yang sama.
"Terkesan tidak mengafirmasi justru guru-guru yang marjinal, tidak punya gawai dan laptop. Dan di daerah tidak ada listrik," kata Satriwan.
Satriwan meminta Kemendikbud tak buru-buru menyelesaikan program tersebut di tengah pandemi virus corona (Covid-19). Ia mengaku banyak menerima laporan dari guru yang antusias mengikuti program tersebut meski dalam keterbatasan infrastruktur.
"Saya meminta Kemendikbud bersabar agar latihan guru penggerak ini tidak dipaksakan untuk diselenggarakan di masa pandemi seperti ini. Lagi-lagi tidak akan efektif karena bergantung pada digital," katanya.
![]() Infografis Kebijakan 'Kampus Merdeka' ala Menteri Nadiem |
Sementara praktisi dan pengamat pendidikan Asep Sapa'at meminta Kemendikbud berpikir ulang terkait program Kampus Merdeka. Menurut Asep, Kampus Merdeka menjadi tak efektif dalam implementasi jika tak mampu menguatkan peran strategis perguruan tinggi sebagai center of excellence.
Menurutnya, Kampus Merdeka harus dilihat melalui aspek institutional building, yakni untuk apa dan untuk siapa kampus berkhidmat. Menurutnya, kampus mesti hadir dan memberikan kontribusi pada kehidupan masyarakat dan bangsa.
"Kampus memahami jati diri sebagai institusi yang menyiapkan SDM berkualitas di berbagai bidang, menyelenggarakan pelayanan pembelajaran berkualitas bagi para mahasiswa, menyumbangkan pemikiran dan hasil riset yang bermanfaat bagi publik dengan prinsip Tridarma Perguruan Tinggi," ujar Asep.
Program Kampus Merdeka mulai dijalankan Nadiem awal 2020 lalu. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam mengatakan kata kunci dalam pelaksanaan Kampus Merdeka adalah inovasi dan kreativitas.
Dalam Kampus Merdeka, perguruan tinggi mendapat otonomi untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru.
Otonomi ini diberikan jika PTN dan PTS tersebut memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities.
(fra/fra)