Novel soal TWK: Alat Singkirkan Orang Kritis Secara Terencana
Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan meyakini tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dilaksanakan dengan tidak adil.
Ia menduga TWK hanya digunakan sebagai cara untuk menyingkirkan sejumlah pegawai tertentu yang kritis.
Diketahui, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos tes tersebut dan terancam diberhentikan. Novel termasuk satu di antaranya.
"Selain itu, saya tidak percaya [tes yang tak meloloskan] 75 pegawai KPK, termasuk saya yang katanya tidak lulus TWK, itu dilakukan dengan fair," ujar Novel kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/5).
"Karena semua pegawai tersebut adalah orang-orang yang kritis, menjadi teladan dalam integritas dan melaksanakan tugas-tugas penting di KPK. Saya justru menduga proses TWK hanya alat untuk menyingkirkan dan itu dilakukan terencana," lanjutnya.
Novel menuturkan TWK bukan sebagai proses seleksi, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk memberhentikan pegawai. Adapun menurut dia, soal-soal yang digunakan dalam proses TWK juga tidak bisa menggugurkan peserta/ pegawai.
"Status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana dimaksud dalam UU 19/2019 hanya peralihan. Tidak ada syarat seleksi dan sebagainya," imbuhnya.
Novel turut mengungkapkan sejumlah pertanyaan yang ditujukan kepadanya dalam menjalani TWK. Misal, terkait penanganan perkara korupsi.
"Kurang lebih begini, kalau jadi ASN lalu diintervensi pejabat ASN di luar KPK untuk tidak panggil saksi tertentu atau intervensi terkait dengan perkara bagaimana?"
"Saya katakan bahwa intervensi dalam penanganan perkara korupsi itu bisa kena delik menghalangi penyidikan sebagaimana dimaksud Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)," ujar dia, menirukan jawabannya saat tes.
"Bila jadi ASN, maka terikat dengan Pasal 108 ayat 3 KUHAP, yaitu pegawai negeri yang dalam melaksanakan tugasnya mengetahui adanya kejahatan wajib melapor, maka respons saya bila ada intervensi penanganan perkara adalah melaporkan karena itu kewajiban."
Novel pun menyindir bahwa "Barangkali jawaban seperti itu dianggap tidak berwawasan kebangsaan".
Kemudian, ia berujar juga ditanyai mengenai pendapat atas kebijakan pemerintah. Novel menyinggung beberapa perubahan UU yang menurutnya bertujuan untuk menguntungkan pihak tertentu. Ia tidak berbicara secara rinci UU apa saja yang dimaksud.
"Iya, beberapa hal mengenai perubahan UU kami di KPK sebenarnya tahu siapa makelar yang atur itu, termasuk adanya dugaan pembagian uang kepada anggota DPR, tapi kadang sulit untuk buktikan. Kami juga tahu bahwa hal tersebut dilakukan untuk menguntungkan pihak tertentu (pemodal dibelakangnya)."
Lihat juga:Lakpesdam PBNU Minta Jokowi Batalkan TWK KPK |
"Lalu kalau disuruh anggap bahwa perubahan UU tertentu itu adalah baik, artinya membohongi diri sendiri dong. Walaupun itu hanya sebagian UU, tentu tidak semuanya. Dan bisa jadi maksud pemerintah baik, tapi pemerintah adalah manusia yang bisa salah dan bisa disusupi oleh pihak yang punya kepentingan."
"Itu jawaban logis dan sesuai fakta. Ketika hal seperti itu dianggap tidak berwawasan kebangsaan, saya kira itu kesimpulan yang sembrono," cetus Novel.
(ryn/arh)