Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, mengaku heran asesmen untuk proses alih status pegawai lembaga antirasuah itu menjadi ASN digunakan untuk proses seleksi.
Menurut Sujanarko, asesmen sejak awal dibahas hanya untuk keperluan internal, alih-alih untuk menonaktifkan.
Sujanarko mengatakan bahwa presiden, Menko Polhukam, maupun Mahkamah Konstitusi (MK) selaku pemangku kepentingan bahkan setuju proses alih status dilakukan tanpa proses asesmen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aneh, organisasi yang difasilitasi seluruh stakeholder, untuk itu dengan mudah dipindahkan ke ASN, kira-kira kok justru punya niat menghentikan yang 75 orang," kata Sujanarko dalam bincang-bincang di YouTube Haris Azhar, Selasa (11/5).
Sujanarko terkonfirmasi sebagai satu dari 75 pegawai yang dinonaktifkan setelah tak lulus asesmen dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dia pernah menerima penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Joko Widodo pada 2015.
Dia menduga asesmen sejak awal dirancang untuk menyeleksi orang-orang tertentu di internal lembaga antirasuah. Dugaan Sujanarko didasarkan pada sejumlah hal. Pertama, katanya, asesmen sejak awal disosialisasikan untuk keperluan pemetaan pegawai.
Di sejumlah rapat internal, katanya, asesmen tak pernah dibicarakan sebagai proses untuk menyeleksi atau bahkan menonaktifkan pegawai. Laporan pegawai bahkan menyebutkan, tak perlu bada asesmen.
"Ini kan aneh banget. Pengguna KPK, presiden, pengguna KPK DPR, pengguna KPK MK, semua stakeholder itu rela setuju tidak perlu ada asesmen," katanya.
Oleh sebab itu, Sujanarko setuju bahwa asesmen telah disalahgunakan. Menurut dia, asesmen kini digunakan untuk menyingkirkan orang-orang tertentu di internal KPK.
Sujanarko pun menantang empat pimpinan KPK, kecuali Firli Bahuri, masing-masing yakni Nurul Ghufron, Lily Pantauli Siregar, Alexander Marwata, dan Nawawi Pomolango lebih mengedepankan hati nurani di masa kepemimpinan KPK jilid 5.
Menurut dia, KPK adalah lembaga yang mengambil keputusan dengan asas kolektif kolegial. Artinya, tak ada satu orang yang sepenuhnya mengendalikan organisasi.
"Sistem kepemimpinan KPK itu kolektif kolegial. Jadi harusnya satu orang tidak bisa mengendalikan organisasi, siapapun itu," katanya.
Ia kemudian berkata, "Saya tantang di forum ini (YouTube Harus Azhar), empat pimpinan yang lain itu lebih menonjolkan hati nurani lah. Harus lebih berani. Publik menurut saya harus menagih mereka, karena gaji mereka sudah besar, loh."
(thr/has)