Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang diperingati setiap 20 Mei tak lepas dari kontroversi lantaran masalah organisasi yang jadi acuan momentum ini, yakni Budi Utomo atau Boedi Oetomo, serta persoalan misi politik Presiden pertama RI Sukarno.
Peringatan ini ditetapkan oleh Presiden Sukarno usai pidatonya di istana kepresidenan Yogyakarta, pada 1948 atau 73 tahun silam.
Sejarawan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Aceh Husaini Husda dalam makalahnya bertajuk 'Rekonstruksi Sejarah Kebangkitan Nasional' (2020) menyebut bahwa tidak ada informasi lengkap mengenai isi pidato Sukarno kala itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, menurut orang-orang yang mendengarkan dan sejumlah media yang datang pada hari itu menyatakan peristiwa penting yang diperingati adalah Hari Kebangkitan Nasional.
Hari Kebangkitan Nasional sendiri merujuk pada tanggal didirikannya salah satu organisasi pra kemerdekaan di Indonesia, Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.
Pada dekade ini, banyak organisasi tanah air bermunculan dengan kesadaran persatuan, semangat nasionalisme, dan pembebasan dari dominasi penjajah.
Boedi Oetomo didirikan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo dan pelajar di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), sebuah sekolah dokter yang diperuntukkan bagi pribumi.
Pada awal abad ke 19, eksploitasi kolonial, politik liberal, dan politik etis yang dijalankan pemerintah Hindia Belanda mengakibatkan keadaan sosial ekonomi semakin buruk. Wahidin lantas berkeliling pulau Jawa dan menyebarkan propaganda.
Dia mendorong adik tingkatnya di STOVIA agar membentuk organisasi yang mengangkat derajat bangsa.
Mengutip 'Nusantara Sejarah Indonesia' karya Bernard Vlekke, Wahidin bersama pelajar Stovia Sutomo, Gunarwan, dan Sunarja mendirikan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 di Jalan Abdulrahman Saleh No. 26, Jakarta.
Soetomo didapuk menjadi ketua. Bahasa Melayu pun dijadikan bahasa resmi organisasi tersebut. Organisasi ini bertekad menyadarkan masyarakat Indonesia dalam melestarikan budaya dan berupaya meningkatkan taraf hidup lewat pendidikan. Meskipun, fokusnya saat itu masih di Jawa dan Madura.
Kala itu Boedi Oetomo membatasi kegiatan di aspek pendidikan dan kebudayaan di Jawa dan Madura, belum memiliki cita-cita politik, misalnya memerdekakan Indonesia.
Meski begitu, di kemudian hari organisasi ini memiliki cita-cita tersebut dan tidak lagi terpatok di Jawa dan Madura saja. Tokoh-tokohnya pun berperan dalam pergerakan nasional di masa selanjutnya, seperti Dr Cipto Mangunkusumo serta Dr. Radjiman Wediodiningrat.
Pascakongres pertama pada 3-5 Oktober 1908, orientasi organisasi ini berubah yang mulanya diperuntukkan bagi kalangan priyayi menjadi menekankan bagaimana memperbaiki kehidupan rakyat secara komprehensif.
Dalam perjalanannya, Husaini Husda menyebut organisasi ini terpecah menjadi golongan tua dan muda. Golongan tua mengambil jalan sosio kultural dan mengangkat kalangan priyayi dan pejabat kolonial.
Sementara, golongan muda menempuh jalan politik guna menghadapi pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan golongan muda ini dinilai tepat karena bisa mengimbangi pemerintah Hindia Belanda.
Penetapan Hari Kebangkitan Nasional oleh Sukarno tidak terlepas dari ketegangan politik dalam negeri. Husaini Husda (2020) menyebut pada kurun 1948 terjadi sejumlah peristiwa penting.
Pada tahun tersebut, kabinet Amir Syarifudin jatuh dan diganti Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Perubahan ini memunculkan perseteruan panjang di antara kedua pihak yang melibatkan sejumlah partai besar seperti, Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Di sisi lain, ketegangan juga terjadi di kalangan militer. Peristiwa penculikan, saat itu, terjadi di mana-mana. Pasukan Siliwangi juga terpaksa bergeser dari Jawa Barat ke Solo karena perjanjian Renville. Sementara Belanda ingin Jawa Barat kembali dalam kekuasaan mereka.
![]() |
Dalam kondisi politik yang masih semrawut itu, menurut sejarawan Taufik Abdullah dalam Jurnal Masyarakat Indonesia No. 2 tahun 2008, tokoh pergerakan Ki Hadjar Dewantara dan Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Sukarno agar tanggal 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
"Dalam keadaan Republik yang krusial itu, sebuah simbol baru persatuan sangat dibutuhkan," kata Taufik.
Sukarno sepakat. Ia lantas menetapkan Hari Kebangkitan Nasional dengan tujuan untuk merangkul semua kelompok dan mengumpulkan kekuatan guna melawan Belanda.
Acara itu diisi dengan pawai yang menunjukkan kekuatan militer pada 20 Mei di Solo. Pawai ini diikuti semua kalangan pemerintah dan masyarakat dengan harapan bisa mencegah perpecahan.
Baca halaman berikutnya...