Selain itu, Susan menegaskan negara semestinya menghormati hak konstitusi nelayan yang telah diakui Mahkamah Konstitusi pada 2010 silam. Hak tersebut adalah hak mengakses, hak mengelola, hak menjalankan kearifan atau pengetahuan yang sudah dijalankan cukup lama, serta hak mendapatkan laut yang bersih.
Persoalan sampah di laut misalnya, menjadi momok yang mengganggu kehidupan nelayan. Persoalan sampah ini tidak bisa dilepaskan dari sistem pengelolaan sampah yang tidak menyeluruh.
"Itu kelihatan kalau di Teluk Jakarta bagaimana sampah dari 13 anak sungai bermuara di situ," ungkap Susan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di tengah masalah sampah yang belum selesai, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi justru membahas pembuangan limbah tailing ke laut.
"Kenapa dibuang ke laut? Karena ya itu yang paling murah. Ketimbang dia membangun sistem pengelolaan limbah-limbah industri, termasuk limbah tambang," ujar Susan.
Selain itu, menurut Susan, pembangunan pemerintahan Jokowi yang banyak digeser ke kawasan pesisir justru merampas ruang hidup nelayan.
Susan mencontohkannya dengan pembangunan arena balap moto GP di Mandalika di Lombok. Di luar itu, ada kawasan ekonomi khusus (KEK) di Palu yang akan jadi tempat pelabuhan besar dan industri skala besar. Menurut Susan, pembangunan itu bukan untuk nelayan.
"Karena nelayan kawan-kawan di Palu mereka semakin kehilangan ruang hidupnya ketika pelabuhan-pelabuhan besar dibangun," kata Susan.
Di samping itu, pembangunan pelabuhan di Kalimantan Timur, tempat di mana Ibu Kota Negara Baru RI akan dibangun. Di pesisir Kaltim, kata Susan, pembangunan pelabuhan besar itu begitu massif. Ia lantas mempertanyakan hubungan pembangunan tersebut dengan keberlangsungan kerja nelayan.
"Pertanyaannya pelabuhan itu buat siapa? Tentu itu untuk memperlancar industri-industri tambang, ya sawit, supaya dia lebih mudah," protes Susan.
Masalah lainnya adalah pembangunan industri wisata yang sedang gencar didorong pemerintah.
Ia mencontohkan kasus pembangunan kawasan wisata di Pulau Rinca (Komodo) dan lainnya. Kawasan wisata itu tidak dikelola oleh nelayan. Para nelayan hanya menjadi pekerja di tempat itu.
"Itu kan yang masuk bukan nelayannya yang mengelola. Kecuali mereka menjadi buruh di situ. Ini yang menurutku bergeser, seperti yang sukarno bilang, kita jadi bangsa kuli," ujarnya.
Susan juga menyatakan para nelayan tidak anti pembangunan. Mereka mempertanyakan pembangunan kawasan ekonomi dan wisata itu untuk siapa. Sebab, ruang hidup nelayan dirampas.
"Kita bukannya anti ini (pembangunan dan pariwisata), kita jadi nonton. Kita (hanya) penonton di laut sendiri," ujarnya.
"Poros maritim dunia itu cuma gimik aja, pemanis. Belumlah kurasa, mungkin masih punya niatan baik di sisa waktunya," tambah Susan.
Saat Pilpres 2019, Direktur Eksekutif Media Survei Nasional Rico Marbun memprediksi tema maritim tak lagi jadi prioritas Jokowi pada periode kedua pemerintahannya.
"Tema maritim menurut saya justru menjadi tema sekunder dalam Jokowi 2019-2024. Tema primernya ya infrastruktur," ujar Rico, pada 2019.
Rico mencatat Jokowi hanya sekali menyebut kata yang berkaitan dengan maritim, yakni pelabuhan. Selain dalam pemaparan visi, Rico menyebut Jokowi jarang sekali mengulas soal maritim selama kampanye Pilpres 2019.
"Artinya ya pembangunan jalan lebih utama. Ya mungkin bisa kita katakan selera pembangunan Jokowi sudah berubah," tandas dia.
(iam/kid)