Terbentur bukti hukum, korban pelecehan seksual pun berpaling ke media sosial, seperti dalam kasus @quweenjojo. Ada juga yang mengadu kepada teman atau keluarga.
Namun itu pun bukan tanpa risiko. Tak jarang, korban justru mendapat respons yang kurang menyenangkan dari orang-orang yang mendengar pengakuannya. Hal ini bahkan dialami oleh pemilik akun @ZhaRaLa dan @twinklettlestar yang sekadar menyuarakan peristiwa pelecehan seks di KRL.
Pekan lalu, akun @ZhaRaLa dan @twinklettlestar melaporkan kepada akun Twitter resmi PT KAI Commuter, @commuterline, dugaan tindakan pelecehan yang dialami oleh temannya,
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Balasan admin @commuterline lantas viral karena dianggap tidak sopan. Admin bertanya kepada pelapor apakah memiliki bukti atas kejadian pelecehan tersebut.
"BTW kejadiannya dialami sama teman mba kan? Bukan sama mba kan? Kenapa gak langsung lapor polisi saja mba nya? Dan kalau lapor polisi si mba nya pun harus ada bukti," tulis admin @commuterline, dikutip Minggu (6/6).
Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan mengungkap pelecehan atau speak up yang dialami ke media sosial tak selalu berarti korban akan menemukan keadilan.
Salah seorang aktivis gerakan melawan praktik kekerasan seksual, Anindya Vivi, mengatakan speak up menjadi salah satu tahap penting yang harus dilakukan korban pelecehan seksual. Selain untuk memperoleh keadilan, juga menjadi salah satu upaya pulih dari trauma yang dialami.
Saat berani berbicara, penyintas akan mendapatkan bantuan profesional untuk keluar dari traumanya. Selain itu, speak up juga diibaratkan 'kekuatan' tambahan yang perlu dimiliki korban.
"Di saat banyak orang yang speak up, penyintas tahu dirinya enggak sendirian, ternyata banyak yang mau dukung kok," kata Anindya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (10/6).
Anindya yang juga dikenal sebagai Co-Director Hollaback!--lembaga atau organisasi yang bergerak melawan praktik kekerasan seksual-- mengatakan meski speak up menjadi salah satu tahap penting bagi proses pemulihan, tak semua korban berani untuk bicara. Beberapa korban, katanya, bahkan membutuhkan waktu lama untuk menghapus traumanya.
"Memang proses speak up enggak mudah, karena ada trauma. Kemungkinan dia juga bakal mengalami victim blaming, belum lagi kalau ada ancaman dari pelaku," ujarnya.
Secara harfiah, 'speak up' berarti bersuara, berujar dengan lantang. Tapi ketika menyangkut pelecehan seksual, speak up bukan hanya bicara pengakuan dengan lantang.
Dalam speak up, penyintas harus kembali mengulang momen-momen saat pelecehan seksual terjadi. Tak semua penyintas sanggup kembali mengingatnya. Hal ini yang membuat banyak penyintas membutuhkan waktu lama hingga akhirnya berani untuk bicara.
Tiasri mengatakan dilema inilah yang seharusnya mendorong urgensi pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
"Di situ (draf RUU PKS) tidak hanya memuat tentang upaya penindakan kepada pelaku, tapi juga memuat tentang upaya pencegahan. Ada tiga hal yang jadi concern, yaitu pencegahan, penanganan dan pemulihan korban," kata Tiasri.
Sementara itu nasib RUU PKS di meja legislatif belum menemukan titik terang. RUU PKS dirancang dan diusung oleh Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL) dan disampaikan melalui rapat dengan pendapat umum di hadapan DPR pada 2015.
RUU PKS kemudian diusulkan pada Januari 2016 dan masuk Prolegnas Prioritas di tahun yang sama. Namun RUU tersebut tak kunjung disahkan hingga lima tahun kemudian. Pada 2020, RUU PKS ditarik dari Prolegnas Prioritas dan baru masuk lagi di tahun 2021.
RUU PKS juga dinilai penting untuk menjamin anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual mendapatkan advokasi atau pendampingan yang memadai saat melaporkan kasusnya. Tak sedikit masyarakat takut untuk melaporkan kasusnya ke polisi atau orang lain.