Kasus Gofar & Gejala Korban Pelecehan Berpaling ke Dunia Maya

CNN Indonesia
Sabtu, 12 Jun 2021 10:30 WIB
Terhalang bukti, sejumlah korban pelecehan seksual memilih mengadu di dunia maya. Bahkan di jagat siber, reaksi terhadap korban pun kerap tak bersahabat.
Ilustrasi pelecehan seksual. (Istockphoto/KatarzynaBialasiewicz)
Jakarta, CNN Indonesia --

"Minta tolongg banget yang ada di Rumah Opa Agustus 2018 dan melihat kejadian itu, walau pun kamu yang teriak "dienakin kok nggak mau?" Aku maafin, tolong bantu aku. Aku butuh saksi karena nggak mudah cari bukti kejadian 3 tahun lalu, terlebih Rumah Opa udah tutup."

Demikian kicau akun Twitter @quweenjojo, 9 Juni silam, terkait dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan pesohor Gofar Hilman atas dirinya di depan umum dalam sebuah acara di Malang, Jawa Timur, pada 2018 silam.

@quweenjojo yang juga memiliki rekaman video itu mencari orang--termasuk yang membantunya lepas dari rangkulan sang pesohor--untuk membantunya memberikan kesaksian atas pelecehan yang dialami.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jagat Twitter sontak ramai. Terlebih karena isu ini melibatkan publik figur atau influencer yang menjadi panutan remaja laki-laki di generasi digital.

Pada Selasa (8/6) malam, nama Gofar pun menghiasi lini massa Twitter. Bahkan kata "Gofar" sempat menempati posisi teratas trending topic di Indonesia.

@quweenjojo di akun Twitternya mengaku harus meyakinkan dirinya selama bertahun-tahun sejak diduga pelecehan seksual yang dialami dirinya di depan umum tersebut pada 2018 silam untuk baru mengungkapnya pada 2021 ini. Lewat speak up nya tersebut, @quweenjojo berharap masyarakat tidak menyepelekan tindak pelecehan.

Langkahnya membuka suara atau speak up itu bukan tanpa aral. Ada yang mendukung langkahnya buka suara sekaligus mengecam Gofar, ada pula yang menghujatnya sebagai karangan belaka karena baru berbicara tiga tahun setelah kejadian.

Perdebatan semakin alot setelah Gofar sendiri menjawab tudingan yang diarahkan pada dirinya. Pria yang salah satunya dikenal sebagai penyiar radio itu menampik pernah melakukan tindak pelecehan tersebut. Gofar pun mengklaim punya saksi mata yang bisa mengkonfirmasi pernyataan dirinya.

Sebaliknya, @quweenjojo menegaskan cerita yang disampaikannya bukan karangan.

"Sekarang gue merasa punya orang-orang terdekat yang supportive banget, jadi udah nggak takut lagi kalau diamuk penggemarnya. Sekarang gue unblock Gofar karena tujuan gue speak up secara publik ini," demikian kicaunya di akun Twitter pada 8 Juni lalu.

Menanggapi apa yang terjadi, hingga perdebatan yang membuntuti langkah @quweenjojo melakukan speak up, Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani mengatakan itu merupakan konsekuensi yang kerap kali harus ditanggung korban ketika mengungkap kasus pelecehan seksual yang dialami.

Ia mengatakan belajar dari pengalaman kasus-kasus lainnya, korban pelecehan hingga kekerasan seksual sangat rentan mendapat serangan balik secara verbal hingga upaya kriminalisasi dari publik maupun pelaku yang ditudingkan ketika memberanikan diri mengungkap kasusnya.

Contoh lain yang paling konkret seperti yang disampaikan Tias adalah kasus yang dialami mantan guru honorer di Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril Maknun. Baiq yang mengungkap pelecehan atas dirinya, justru malah dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena laporan kepala sekolah tempatnya mengajar. Belakangan, Baiq akhirnya bebas setelah diberi amnesti oleh presiden pada 2019 silam.

Tiasri mengatakan masih ada tantangan di negeri ini dalam menangani persoalan pelecehan seksual, terutama dalam melindungi korban baik secara sosial maupun hukum positif. Oleh karena itu, sambungnya, korban yang telah berdamai atau marah pun kemudian hanya bisa diam atau curhat hingga ke media sosial.

Tiasri mengatakan mengungkap pengalaman menjadi korban pelecehan seksual bukan suatu hal yang mudah. Selain karena trauma yang sering kali mengundurkan niat, korban pelecehan seksual juga belum dilindungi oleh payung hukum yang kuat di Indonesia.

"Banyak publik yang tidak menyadari dan memahami bagaimana pola kasus pelecehan seksual, bagaimana hambatan dan tantangan yang dihadapi korban, sehingga korban dianggap merekayasa, salah karena tidak langsung mengadukan, kenapa tidak ke polisi tapi malah curhat di medsos," kata Tiasri ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (11/6).

Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril Maknun diterima Presiden Joko Widodo (Jokowi) di ruang kerja, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/8). Nuril mendapatkan salinan keputusan presiden tentang pemberian amnesti.Korban pelecehan seksual yang dikriminalisasi UU ITE Baiq Nuril Maqnun (tengah) saat menerima salinan Keppres amnesti dari Presiden RI Joko Widodo (kanan), Bogor, 2 Agustus 2019. (CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan)

Ia menjelaskan untuk mengusut tindak pelecehan dan kekerasan seksual di Indonesia saat ini baru diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dengan ruang lingkup yang masih sempit.

Misalnya pada kasus perkosaan, kata Tiasri, KUHP hanya mendefinisikan kejadian tersebut dengan terjadinya penetrasi penis dan vagina atau bersetubuh. Di luar fenomena tersebut, maka tindak pelecehan seksual masuk ke kategori perbuatan asusila.

Pasal 285 KUHP menyatakan pelaku perkosaan dapat diancam pidana selama 12 tahun. Sementara Pasal 281 KUHP menyebut seseorang yang dengan sengaja melanggar kesusilaan diancam penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda Rp500 ribu.

Korban Mengadu ke Medsos

Belum lagi, sambung dia, korban pelecehan seksual kerap kali kesulitan dalam menunjukkan bukti atas kasus yang ia laporkan. Inilah yang menurutnya membuat banyak korban memilih berdiam atau beralih mengadu ke media sosial.

"Ketika ditanya kembali, kenapa korban tidak mengadukan kasusnya kepada aparat penegak hukum, banyak pertimbangan yang mungkin jadi hal yang penting dan mendasar bagi korban untuk tidak melakukan pelaporan kepada pihak kepolisian. Karena kita tahu, di mana beban alat bukti yang dibebankan kepada korban. Yang kedua, dalam kasus-kasus pelcehan seksual juga sangat sulit untuk berikan alat bukti dalam proses pembuktian," tutur Tiasri.

Perihal mekanisme pembuktian yang menghambat pengungkapan kasus kekerasan seksual di Indonesia pun pernah diamini Polri.

Kasatgas Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri Sri Bhayakari pada 2019 mengakui, selama ini kasus pelecehan dan kekerasan seksual seringkali sulit berlanjut ke tahap penyelidikan maupun penyidikan karena alat bukti yang minim. Terutama, sambungnya, pada kasus pelecehan terutama pada kasus pelecehan secara verbal.

Sri melontar ucapan itu di Komnas Perempuan, terkait situasi hukum yang dialami Baiq Nuril.

Infografis Ragam Laku Pelecehan Seksual

Secara teorinya dalam pengusutan kasus memerlukan syarat setidaknya dua alat bukti. Tetapi, faktanya kondisi di lapangan tak melulu demikian sehingga tak kuat dalam kerangka hukum untuk menyeret terduga pelaku pelecehan hingga vonis pengadilan.

Oleh karena itu, Sri menyatakan dibutuhkan pula pihak-pihak saksi yang bisa menguatkan terjadinya pelecehan seksual, terutama yang terdokumentasi untuk keperluan penyelidikan polisi. Tapi, penyimpanan dokumentasi untuk pembuktian dugaan pelecehan itu pun nyatanya menjadi bumerang seperti yang dialami Baiq Nuril.

Halaman selanjutnya soal korban pelecehan seksual berani speak up.

Poin Keberanian Speak Up hingga RUU PKS

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER