Konsep Marital Rape, Masih Dianggap Antara Ada dan Tiada

CNN Indonesia
Jumat, 18 Jun 2021 07:41 WIB
Aturan soal pemerkosaan dalam rumah tangga (Marital rape) sebenarnya sudah ada dalam UU nomor 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Salah satu mural stop kekerasan dalam rumah tangga di kawasan Jatinegara. (CNN Indonesia/Harvey Darian
Jakarta, CNN Indonesia --

Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) mengatur pasal tentang tindak pemerkosaan atau rudapaksa yang dilakukan suami terhadap istri, maupun sebaliknya atau marital rape. Aturan itu tercantum dalam pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa pelaku pemerkosaan dalam rumah tangga dapat dihukum pidana penjara paling lama 12 tahun.

"Termasuk Tindak Pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan (a) persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah," bunyi pasal pasal 479 ayat 2 poin a RUU KUHP.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aturan tersebut sebenarnya sudah ada dalam Pasal 53 UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Aturan tentang marital rape, dinilai masih sangat 'asing' di masyarakat.

Menurut Komnas Perempuan masih banyak masyarakat yang tidak menganggap serius pemerkosaan dalam rumah tangga. Bahkan, sebagian kalangan menganggap pemerkosaan dalam rumah tangga tidak ada. Selama ini dianggap antara ada dan tiada.

Namun, Wakil Ketua Komnas Perempuan Mariana Amiruddin berpendapat, marital rape itu ada dalam kehidupan rumah tangga. Ketidakpahaman masyarakat tentang konsep marital rape terjadi karena dipengaruhi oleh kultur dan hukum perkawinan di Indonesia.

Dalam perkawinan di Indonesia, umumnya suami dianggap sebagai pencari nafkah dan istri seseorang yang harus siap melayani suami, termasuk dalam hubungan seksual.

Selain itu, Mariana menjelaskan ketidakpercayaan masyarakat tentang marital rape diakibatkan oleh anggapan bahwa, setelah menikah hubungan seksual sah dilakukan, meskipun salah satu pihak tak menghendaki itu.

"Orang sering lupa kalau terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Itu yang di luar dari harapan kedua belah pihak, baik suami atau istri, termasuk pemerkosaan," ucap Mariana kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/6).

Ia juga menyebut masih banyak masyarakat yang menganggap marital rape adalah bagian dari gairah seksual dalam hubungan suami istri. Mariana mengatakan pangkal permasalahan tersebut karena minimnya pengetahuan mengenai konsep pemerkosaan.

"Disangkanya pemerkosaan itu hal yang biasa saja. Bahkan menggunakan perkosaan itu sebagai gairah seksual bukan sebagai kriminal," ucap Mariana.

Ratusan Aduan Tiap Tahun

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan, Mariana mengatakan jumlah laporan terkait pemerkosaan terhadap istri tahun 2019 sebanyak 192 kasus. Lalu pada 2020 sebanyak 100 kasus.

Salah satu kasus marital rape terjadi pada 2014 silam. Seorang perempuan asal Denpasar, Bali meninggal karena mengalami patah tulang rusuk, memar di dada, dan infeksi di kemaluan setelah dipaksa berhubungan seksual oleh suaminya. Korban sempat menolak karena merasa tidak enak badan, napasnya sesak dan sakit jantungnya sedang kambuh, tapi suaminya, tak peduli.

Akibat perbuatannya itu, sang suami dijatuhi hukuman penjara 10 bulan.

Mariana mengakui konsep marital rape sulit untuk dijelaskan. Sebab, meski salah satu pihak mengatakan setuju, bisa saja dikatakan dalam keadaan terpaksa. Oleh sebab itu, Mariana mengatakan cara mendeteksi pemerkosaan adalah ketika salah satu pihak merasa menderita.

"Orang Indonesia suka bingung tuh. 'Oh kalau setuju berarti boleh.' Orang Indonesia enggak ngerti setuju enggak setuju biasanya maen terabas," ucap dia.

"Intinya mengakibatkan penderitaan dan itu melanggar HAM ya," imbuhnya.

Terkait itu, Mariana mengatakan Komanas Perempuan belum menentukan sikap terkait pasal 479 dalam RKUHP. Meski begitu, ia mengatakan pelaku pemerkosaan dalam keluarga harus dihukum pidana.

Ia mengatakan penjelasan tentang pemerkosaan dan hukumannya juga harus dijelaskan secara detail. Sehingga, pelaksana penegak hukum di lapangan tidak kebingungan.

"Dengan syarat aturan itu harus bisa memberikan penjelasan yang detail tentang apa yang harus mereka lakukan. Di luar patriarkisnya aparat kita, kalau aturannya ada jelas bisa dijalankan kan," ucap dia.

Selain itu, Mariana juga menyatakan korban pemerkosaan dalam keluarga juga harus mendapatkan dukungan pemulihan.

Oleh sebab itu, ia menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan.

"RUU PKS kan lebih ke pemulihan korban dan juga penanganan yang punya perspektif korban. Itu yang sangat sulit di kepolisian untuk menangani korban kekerasan," ucapnya.

(ugo/yla/ugo)


[Gambas:Video CNN]
REKOMENDASI
UNTUKMU LIHAT SEMUA
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER