Sementara itu, anggota FBR yang mengelola parkir di retail tersebut, Bram, mengatakan pihaknya tidak sedang melakukan tindakan pengamanan, melainkan memberikan jasa parkir. Tindakan pengamanan telah dilakukan oleh TNI Polri.
"Jadi kalau keamanan itu salah, kalau ormas (bilang) saya keamanan sini, itu salah," ujarnya.
Mengelola lahan yang sama, pendapatan Bram tidak terpaut jauh dengan Mulyadi. Jika Mulyadi mesti memberi setoran untuk kas RT, Bram juga menyisihkan untuk kas organisasinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalo di sini buat kas FBR, bukan setoran," ujarnya.
Akademisi Murdoch University Australia, Ian Douglas Wilson yang telah meneliti perkembangan preman di Jakarta menyebut bahwa definisi preman abu-abu atau tidak jelas.
Seringkali, orang-orang yang bertahan hidup dari ekonomi jalanan yang tidak diatur secara formal oleh pemerintah disamakan dengan preman.
"Itu emang sering tidak fair," kata Ian dalam pesan tertulisnya, Sabtu (19/6) pagi.
Cap preman ini, terkadang menjadi alasan untuk melakukan penertiban ekonomi dan tatanan sosial di jalan. Padahal, hasil yang diperoleh masyarakat kelas bawah dari sektor ini tidaklah banyak.
"Itu juga kadang cerminkan bias kelas yang samakan preman atau premanisme dengan rakyat ekonomi bawah," jelas Ian.
Sementara itu, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Abdil Mughis Mudhoffir mengatakan orang-orang menolak dirinya disebut preman karena julukan itu akan membawa konsekuensi buruk. Karena penyematan itu, orang bisa saja diusir, ditangkap, atau bahkan dipenjara.
"Istilah ini juga kerap digunakan pemerintah untuk menyudutkan dan mengeksklusi orang-orang miskin di perkotaan," kata Mughis.
(wis/iam/asa)