HUT DKI JAKARTA KE-494

Tanah Abang, Premanisme & Sekelumit Bisnis Keamanan

CNN Indonesia
Selasa, 22 Jun 2021 08:45 WIB
Para penjaja jasa keamanan di Jakarta menolak disebut preman meski pungutan yang mereka tarik dari warga bukan pungutan resmi.
Pasar Tanah Abang, Jakarta, kerap disorot sebagai salah satu pusat preman di ibu kota. (Foto: CNN Indonesia/ Syakirun Niam)
Jakarta, CNN Indonesia --

Mata tua Sa'ih tampak awas mengamati keadaan sebelum menyeberang ke Blok F Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sementara pandangannya menyapu sekeliling, gerobak pikul telur gulungnya ia turunkan.

Beberapa ratus meter dari tempat Sa'ih berdiri, puluhan aparat kepolisian, TNI/Polri, dan Satpol PP sedang mengadakan vaksinasi. Tapi mata Sa'ih lekat menatap tukang parkir di seberang jalan.

Sebagai pedagang kaki lima (PKL) Sa'ih mengaku pernah jadi langganan dipalak meskipun saat ini sudah jarang. Orang-orang jalanan meminta uang Rp2.000-an darinya. Kadang, mereka meminta barang dagangan Sa'ih dengan janji akan dibayar besok, kenyataannya tidak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kadang-kadang (tukang) parkiran, kadang orang kenal. Enggak papa lah yang penting jangan ganggu lagi," kata Sa'ih saat ditemui CNNIndonesia.com di kawasan Blok G Pasar Tanah Abang, Kamis (17/6).

Bagi pedagang kecil seperti Sa'ih, pungli sekecil apapun akan mempengaruhi jatah dapur hariannya. Namun Sa'ih memilih mengalah sebab jika tak memberi uang, dirinya bakal dilarang melintas kembali di kawasan tersebut.

"Kalo diganggu, jangan harus bayar, besok diiniin, harus ngalah kita. Kadang-kadang (diancam) awas kalo ke sini lagi, jangan lewat ke sini lagi. Kadang-kadang di sini (pasar Tanah bang) ada. Cuman enggak papa," ungkap Sa'ih.

Berbeda dengan Sa'ih, Yunus pedagang baju kaki lima di lorong-lorong Blok F Tanah Abang mengaku tidak pernah dipalak oleh preman. Namun ia tak menampik ada uang yang harus ia sisihkan secara rutin untuk kebersihan dan keamanan. Itu pungutan tak resmi.

Saat berjualan di lapaknya, biasanya ia membayar Rp2 ribu untuk uang kebersihan ke tukang sapu, kemudian uang pungutan Rp5 ribu pada hari biasa dan Rp10 ribu pada hari normal.

"Cuma pungutannya enggak pakai karcis itu aja," ujar Yunus.

Yunus berkata orang yang mengutip bayaran itu adalah petugas pasar, bukan preman. Ia justru menyatakan tidak ada preman di tempatnya berdagang. Toh, kata dia, selama pandemi ia tidak pernah membayar pungutan karena tidak ada pembeli. Pun, petugas yang memungut uangnya tidak mempersoalkan.

Akademisi Murdoch University, Australia Ian Douglas Wilson yang melakukan penelitian terhadap perkembangan preman di Jakarta, telah menangkap perubahan wajah premanisme di Jakarta pasca Orde Baru.

Mengambil contoh Forum Betawi Rempug (FBR) Ian menyebut premanisme di era reformasi lambat laun berkembang menjadi gerakan sosial.

Apa yang dikatakan Ian itu hampir senada dengan bantahan Abraham Lunggana alias Haji Lulung atas keberadaan preman di Tanah Abang.

Saat masih menduduki kursi dewan di Kebon Sirih, Lulung yang juga tokoh Tanah Abang ini pernah lantang membantah temuan Ombudsman RI soal keberadaan preman Tanah Abang, 2017 silam.

Berdasarkan pengertian Lulung, preman adalah oknum yang memeras. Jika ada oknum semacam itu di Tanah Abang, Lulung pastikan oknum itu bukan warga setempat.

Lulung yang kini berstatus anggota DPR RI, kala itu menyebut yang ada di Tanah Abang adalah anak-anak yang ingin menjaga keamanan kampungnya. Sebuah aksi sosial oleh anak-anak yang ia sebut sebagai 'anak lingkungan'.

Ia tidak memungkiri jika warga setempat yang ia istilahkan sebagai 'anak lingkungan' juga menerima uang dari PKL. Uang tersebut, kata Lulung, adalah upah karena si 'anak lingkungan' telah menjaga kampungnya agar senantiasa aman dan tertib. Sehingga, Lulung menolak mereka disebut preman.

"Orang lingkungan cari nafkah, 'jagain kampungnya' kalau orang Betawi bilang. Makanya, ngomongnya yang objektif," ujar Lulung.

Praktik mengutip uang atas nama keamanan ini, disebut Ian sebagai memperdagangkan kekerasan dan keamanan. Dalam bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018), bisnis kekerasan dan pengamanan ini dilakukan oleh para spesialis kekerasan 'non pemerintah'. Wujudnya beragam, mulai dari ormas vigilante, preman kecil, geng, pemeras, hingga centeng dan preman politik.

Di kawasan Jati Padang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, warga berbagi waktu mengelola lahan parkir sebuah minimarket dengan Forum Betawi Rempug (FBR).

"Sekarang masyarakat nih, besok FBR, satu hari satu hari aja, selang seling," kata Mulyadi saat ditemui Kamis (17/6) malam.

Mulyadi, salah satu warga setempat mengaku menjadi pelaksana pihak RT mengelola parkir itu. Ia bekerja dalam dua shift. Satu shift-nya dikerjakan oleh dua orang. Pengelolaan ini dilakukan secara bergantian dengan pembagian 1 hari warga dan 1 hari FBR.

Ia menolak disebut sebagai penjaga keamanan. Lebih tepat, kata Mulyadi, ia merupakan mitra kerja minimarket tersebut. Meski demikian, tidak ada bagi hasil dengan pihak toko. Pembagian hanya dilakukan dengan pihak RT setempat.

Dalam satu hari, ia menyetorkan hasil memarkir Rp30 ribu kepada pihak RT. Sebanyak Rp 20 ribu menjadi kas RT sementara RP10 ribu dari jumlah tersebut akan menjadi jatah Mulyadi saat hari raya. Sementara, sisanya menjadi hak Mulyadi. Biasanya, jika shift pagi ia bisa mengantongi uang bersih Rp70-80 ribu di luar makan, kopi, dan setoran.

"Paling kecil banget, sepi, ya 50 (ribu). Kalo malam lagi rame 100, 120," ujarnya.

Sebagaimana Mulyadi, Bram, salah satu anggota FBR Jati Padang yang bekerja sebagai tukang parkir di toko retail tersebut juga menolak disebut sebagai pengelola keamanan.

Menurut Bram, keamanan dikelola oleh polisi atau Babinsa. Ia menyebut dirinya sebagai mitra yang memberikan pelayanan jasa parkir. Pihaknya mengaku telah meminta izin kepada pihak toko retail untuk menjaga parkir di lokasi tersebut.

"Jadi izin, assalamualaikum, walaikum salam. Mohon izin saya warga sini dan saya sebagai ormas sini mohon izin ke Alfamidi untuk markir di area Alfamidi," kata Bram saat ditemui Jum'at (18/6) pagi.

Berbeda dengan Mulyadi, Bram mengaku dapat mengantongi uang rata-rata Rp50 ribu per hari. Pendapatan ini di luar makan, rokok, dan uang kas untuk organisasinya. Namun, ia tidak menampik pada waktu tertentu pendapatannya meningkat. Salah satunya saat menjelang lebaran kemarin.

"Paling harian alhamdulillah bawa empat liter lima liter beras," ujar Bram.

Baik Mulyadi maupun Bram sama-sama mengaku tidak mematok tarif. Mereka juga mengklaim tidak melakukan pemaksaan apapun. Pemberian dari pengunjung Alfamidi akan diterima berapapun jumlahnya.

"Pada intinya kita jual jasa, jual pelayanan. Kita tidak boleh maksa, kalo maksa itu pemerasan," ujar Bram.

Negara Tidak Berikan Jaminan Keamanan

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER