Suara Mereka yang Menolak Dicap Preman Jakarta
Matahari di Tanah Abang, Jakarta Pusat, baru saja lengser dari titik tertinggi saat Ibrahim berdiri di tepi jalanan yang membelah komplek Blok F dan G. Sesekali ia melambaikan tangan pada pengendara motor dan mobil yang lewat, menunjukkan di sisinya masih ada lahan yang kosong untuk parkir.
Ibrahim mengaku tidak sepakat dengan pandangan yang mengecap tukang parkir sebagai preman. Menurutnya, ia bekerja menjual jasa mengamankan motor di sebidang lahan di tepi jalan dan tidak mematok harga berkisar Rp3-5 ribu.
"Kita kan jual jasa, bukan premanisme. Juru parkir kita jual jasa, nggak ada premanisme," kata Ibrahim saat ditemui CNNIndonesia.com, Kamis (17/6).
Ibrahim merupakan 'anak wilayah' Tanah Abang. Meski sudah sejak kecil hidup di pasar itu karena mengikuti orang tuanya yang berdagang, Ibrahim baru beberapa tahun terakhir menjadi tukang parkir.
Ia diberhentikan dari pekerjaan sebelumnya saat pandemi Covid-19 merebak di tanah air. Karena menganggur, Ibrahim lantas dibawa oleh kakaknya yang lebih senior di kawasan Tanah Abang.
"Anak-anak sini markir karena efek pandemi juga. Banyak juga yang efek pandemi, putus kerja," kata Ibrahim.
Dalam satu hari, Ibrahim hanya bisa mengantongi pendapatan bersih Rp50 ribu rupiah. Lahan parkir yang ia jaga sempit dan digarap oleh dua orang.
Meski hidup di kawasan Tanah Abang, Ibrahim mengatakan ia tidak harus memberikan setoran kepada siapapun, termasuk pengelola pasar. Ia hanya memberi uang rokok kepada kakaknya yang telah membantunya.
"Karena kita kan dibawa sama orang. Tapi kalo yang ikut Ormas kita nggak ada," ujarnya.
Ibrahim mengatakan orang-orang yang menjaga parkir liar di sekitar kawasan tersebut merupakan 'anak wilayah'. Hal ini membuat gesekan antar tukang parkir tidak terjadi karena anak wilayah tersebut menurutnya sudah dikondisikan.
Ia mengklaim saat ini tidak ada lagi penodongan atau pemalakan di kawasan Tanah Abang. Sosok pesohor Tanah Abang seperti Haji Lulung dan lainnya telah mewanti-wanti 'anak wilayah' agar menjaga nama baik kampung ini.
"Kecuali kalau kita buta, kita masih main begitu berarti kita bodoh. Berarti sama aja mending masuk Polsek aja sekalian," ujarnya.
Seperti halnya Ibrahim, Mulyadi tukang parkir di sebuah minimarket di Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan juga menolak disebut sebagai preman. Alasan Mulyadi sama: ia memberikan jasa parkir dan tidak memungut uang dengan memaksa. Ia juga mengaku sebagai mitra kerja minimarket tersebut.
Menurut Mulyadi, menjadi tukang parkir tidak sekadar meminta uang kepada pengunjung yang datang. Ia bertanggung jawab terhadap keamanan motor pengunjung. Karena itu, katanya, ia mesti memperhatikan apakah orang yang hendak mengambil motor benar-benar menggunakan kunci atau tidak.
"Kalau enggak pake kunci kita tegur, STNK mana?" kata Mulyadi saat ditemui pada Kamis (17/6) malam.
Pengelolaan lahan parkir di Alfamidi dilakukan oleh dua pihak, yakni RT setempat dan Ormas Forum Betawi Rempug (FBR). Dalam perjanjian yang mereka sepakati, masing-masing mengelola parkir dalam satu hari secara bergantian.
Mulyadi mengaku menjaga parkiran itu atas arahan Ketua RT setelah ia berhenti dari perusahaannya akibat pandemi. Pihak RT setempat telah menunjuk empat warganya untuk menjadi tukang parkir. Mereka bekerja dua shift, yakni pagi-sore dan sore-malam.
Uang parkir yang ia dapatkan akan disetorkan ke pihak RT Rp30 ribu. Sebanyak Rp20 ribu menjadi uang kas dan Rp10 ribunya menjadi simpanan Mulyadi untuk diambil pada hari raya. Biasanya, jika shift pagi ia bisa mengantongi uang bersih Rp70-80 ribu di luar makan, kopi, dan setoran.
"Paling kecil banget, sepi, ya 50 (ribu). Kalo malam lagi rame 100, 120," ujarnya.